Hukum Jinayat: Qadzaf (Menuduh) dan Hukumannya dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

 


A.     Pengertian Qadzaf

Secara bahasa makna kata qadzaf adalah al-ramyu bi al-shai’i (menuduh sesuatu).[1] Definisi ini sejalan dengan penggunaan istilah di dalam al-Qur’an surat an-Nur : 4.

وَٱلَّذِينَ يَرۡمُونَ ٱلۡمُحۡصَنَٰتِ ثُمَّ لَمۡ يَأۡتُواْ بِأَرۡبَعَةِ شُهَدَآءَ فَٱجۡلِدُوهُمۡ ثَمَٰنِينَ جَلۡدَةٗ وَلَا تَقۡبَلُواْ لَهُمۡ شَهَٰدَةً أَبَدٗاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ

Artinya : “dan orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama-lamanya. Mereka itulah orang-orang yang fasik”.[2]

Adapun melakukan qadzaf kepada orang yang sudah menikah (baik perempuan maupun laki-laki) berarti menuduh melakukan zina atau menafikan hubungan nasab anak kepada bapak.[3] Ulama fikih menyatakan bahwa yang dimaksud dengan qadzaf adalah menasabkan seorang anak Adam kepada lelaki lain disebabkan zina, atau memutuskan keturunan seorang muslim. Apabila seseorang mengatakan kepada orang lain, engkau pezina; engkau anak zina atau engkau bukan anak ayahmu, maka seluruh ungkapan ini disebut sebagai qadzaf. Qadzaf bisa juga berlaku dalam tindak pidana takzir, yaitu terhadap segala bentuk tuduhan yang diharamkan bagi setiap muslim. Umpamanya, menuduh orang lain melakukan pencurian menuduh orang lain, meminum minuman keras, dan lain sebagainya. Namun dalam pembahasan hukum pidana Islam istilah qadzaf lebih ditekankan kepada menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayah atau ibunya.[4]

Menurut dalam Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014. Bahwa yang dimaksud dengan qadzaf  adalah menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat mengajukan paling kurang 4 orang saksi.[5]

Dalam pengertian tersebut jelas bahwa qadzaf merupakan tuduhan yang dilemparkan kepada seseorang baik laki maupun perempuan telah melakukan zina tanpa membawa saksi berjumlah 4 orang.

B.     Alat Bukti Qadzaf

Menurut Sayyid Sabiq bahwa untuk dapat menjauhkan hukuman cambuk dalam jarimah qadzaf terdapat syarat-sarat yang harus dipenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi tiga hal, yaitu :

1.      Syarat-syarat qadzif (orang yang menuduh berzina) adalah berakal, dewasa (balig) dan dalam keadaan yang itdak terpaksa(ikhtiyar)

2.      Syarat-syarat maqzuf (orang yang dituduh berzina) adalah berakal, dewasa (balig), Islam, merdeka dan belumpernah serta menjauhi zina.

3.      Syarat-syarat maqdzuf bih (sesuatu yang dibuat untuk menuduh zina) adalah pernyataan yang berupa lisan maupun tulisan yang jelas, seperti panggilan : “hai orang yang berzina atau hai kamu lahir tanpa bapak”, dan pernyataan yang berupa lisan maupun tulisan atau sindiran yang jelas arahnya. Misal ada dua orang yang saling bertengkar, lalu yang satu berkata : “meskipun aku jelek, tetapi aku tidak pernah berbuat zina dan ibuku juga tidak pernah berzina”. Pernyataan seperti itu merupakan sindiran bahwa ia dianggap telah menuduh zina kepada lawannya dan kepada ibu lawannya.

Dalam hal pembuktian tentang qadzaf yaitu jika si penuduh/pelaku jarimah qadzaf tidak bisa membawa 4 orang saksi, maka jelas bahwa dia hanya menuduh seseorang melakukan zina. Tetapi dalam pembuktian untuk alat bukti di pengadilan itu ada beberapa. Antara lain :

1.      Iqrar (pengakuan)

Pengakuan dari pelaku (penuduh) bahwa ia menuduh orang lain melakukan zina. Pengakuan ini cukup dinyatakan satu kali dalam majelis pengadilan.

2.      Syahadah (kesaksian)

Syarat-syarat saksi sama dengan syarat dalam jarimah zinam yaitu : balig, berakal, adil, dapat berbicara, Islam dan tidak ada penghalang menjadi saksi. Adapun jumlah saksi dalam qadzaf sekurang-kurangnya adalah dua orang.

3.      Qasamah (sumpah)

Menurut imam Syafi’ie, qadzaf bisa dibuktikan dengan sumpah apabila tidak ada saksi dan pengakuan. Caranya adalah orang yang dituduh menuruh untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan penuduhan. Apabila penuduh enggan untuk bersumpah maka jarimah qadzaf bisa dibuktikan dengan keenggangannya untuk bersumpah tersebut. Demikian pula sebaliknya.

4.      Ilmu Al Qadhi (Ilmu pengetahuan hakim)

5.      Qarinah (petunjuk).[6]

 

C.    Hukuman Pelaku Qadzaf

Hukuman pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak depalan puluh kali. Hukuman ini adalah hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga Ulil Amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan. Adapun bagi orang yang dituduh, menurut pra Ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Syafi’ie orang yang dituduh berhak memberikan pengampunan, karena hak manusia lebih dominan daripada hak Allah. Sedangkan menurut mazhab Hanafi korban tidak berhak memberikan pengampunan, karena didalam jarimah qadzaf hak Allah lebih dominan dari pada hak manusia. Hukuman tambahan yaitu tidak diterimanya kesaksiannya dan dianggap orang yang fasik.

Di dalam Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014. Hukuman bagi pelaku jarimah qadzaf  terdapat dalam beberapa pasal. Antara lain :

Pasal 57

(1)   Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan Qadzaf diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 80 (delapan puluh) kali.

(2)   Setiap Orang yang mengulangi perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) diancam dengan ‘Uqubat Hudud cambuk 80 (delapan puluh) kali dan dapat ditambah dengan ‘Uqubat Ta’zir denda paling banyak 400 (empat ratus) gram emas murni atau ‘Uqubat Ta’zir penjara paling lama 40 (empat puluh) bulan.

Pasal 58

(1)   Dalam hal ada permintaan tertuduh, Setiap Orang yang dikenakan ‘Uqubat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 dapat dikenakan ‘Uqubat Restitusi paling banyak 400 (empat ratus) gram emas murni.

(2)   Hakim dalam menetapkan besaran ‘Uqubat Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) perlu mempertimbangkan kemampuan keuangan terhukum dan kerugian materiil tertuduh.

(3)   Dalam hal Jarimah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan karena terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dapat dihindari, maka ‘Uqubat Restitusi untuk tertuduh dibebankan kepada yang memaksa dan pelaku.

Pasal 59

Dalam hal suami atau istri menuduh pasangannya melakukan perbuatan Zina, dapat mengajukan pengaduan kepada hakim dan menggunakan sumpah sebagai alat bukti.

Pasal 60

(1)   Sumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dilakukan di depan hakim dengan nama Allah sebanyak 5 (lima) kali.

(2)   Pada sumpah pertama sampai dengan ke 4 (empat), penuduh menyatakan bahwa dia telah melihat istri atau suaminya melakukan perbuatan Zina.

(3)   Pada sumpah yang terakhir atau ke 5 (lima) suami menyatakan bahwa dia bersedia menerima laknat Allah di dunia dan di akhirat apabila dia berdusta dengan sumpahnya.

(4)   Pada sumpah yang terakhir atau ke 5 (lima) istri menyatakan bahwa dia bersedia menerima murka Allah di dunia dan di akhirat apabila dia berdusta dengan sumpahnya.

Pasal 61

(1)   Suami atau isteri yang dituduh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dapat mengikuti prosedur yang sama bersumpah dengan nama Allah sebanyak 5 (lima) kali, untuk menyatakan bahwa tuduhan pasangannya adalah tidak benar.

(2)   Pada sumpah pertama sampai dengan ke 4 (empat) tertuduh menyatakan bahwa tuduhan suami atau isterinya tidak benar dan 1 (satu) kali yang terakhir menyatakan bersedia menerima laknat Allah di dunia dan di akhirat apabila dia berdusta dengan sumpahnya ini.

(3)   Apabila suami atau istri yang dituduh melakukan Zina tidak bersedia melakukan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dia akan dikenakan ‘Uqubat Zina sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1).

(4)   Apabila suami atau istri yang menuduh pasangannya melakukan Zina, tidak bersedia melakukan sumpah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) maka dia akan dijatuhi ‘Uqubat Qadzaf.

(5)   Apabila suami dan istri saling bersumpah, keduanya dibebaskan dari ‘Uqubat Hudud melakukan Jarimah Zina atau Qadzaf.

Pasal 62

(1)   Suami dan isteri yang saling bersumpah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (5) akan dikenakan ‘Uqubat Ta’zir tambahan diputuskan ikatan perkawinan mereka dan tidak boleh saling menikah untuk selama-lamanya.

(2)   Pemutusan ikatan perkawinan sebagaiman dimaksud pada ayat (1) ditetapkan melalui Mahkamah Syar’iyah.

(3)   Penyelesaian lebih lanjut mengenai akibat dari putusnya perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan dengan kesepakatan bersama antara suami dengan isteri, atau melalui gugatan perdata ke Mahkamah Syar`iyah.

(4)   Suami atau isteri yang mengajukan gugatan cerai dengan alasan pasangannya telah melakukan perbuatan Zina tidak dituduh melakukan Qadzaf.

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

_______Afifah, Nurul. "Qadzaf Menurut Hukum Islam Dan KHI." Istinbath: Jurnal Hukum 12.1 (2015)

_______Al-Qur’an

_______Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari‟ah, (Jakarta: Grafika Offset, 2009)

_______Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014

_______Prasetyo, M. A. Studi komparatif tentang pembuktian tindak pidana menuduh zina (qadzaf) menurut hukum Islam dan hukum positif (Doctoral dissertation, UIN Walisongo). (2017)



[1] Afifah, Nurul. "Qadzaf Menurut Hukum Islam Dan KHI." Istinbath: Jurnal Hukum 12.1 (2015): 153-166.

[2] Al-Qur’an Surat ke 24 ayat ke 4

[3] Ahmad Al-Mursi Husain Jauhar, Maqashid Syari‟ah, (Jakarta: Grafika Offset). (2009) h. 138.

[4] Op Cit. Afifah, Nurul.

[5] Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 Pasal 1

[6] Prasetyo, M. A. Studi komparatif tentang pembuktian tindak pidana menuduh zina (qadzaf) menurut hukum Islam dan hukum positif (Doctoral dissertation, UIN Walisongo). (2017). Hal 36

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN