Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Periwayatan Hadist

    A.Pengertian Periwayatan Hadist
Hadist Nabi yang terhimpun dalam kitab-kitab hadist, misalnya shahih al- Bukhori dan shahih Muslim, terlebih dahulu telah melalui proses kegiatan yang di namai dengan riwayat al-hadist atau al-riwayat, yang dalam bahasa indonesia dapat diterjemahkan dengan periwayatan hadist atau periwayatan. Sesuatu yang diriwayatkan, secara umum juga biasa disebut dengan riwayat. [1]
Menurut istilah ilmu hadis, yang dimaksud dengan al-riwayat atau periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu. Seseorang tidak berhak meriwayatkan hadis tersebut apbila menghilangkan kata-kata atau menambahkan atau kata-katanya sendiri, sehingga tereproduksilah hadist-hadist yanh hanya sesuai dengan pemahamannya sendiri mengenai hadis-hadis tersebut.[2]
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”. [3]
Dan adapula pendapat lain tentang pengertian periwayatan hadist namun mempunyai makna yang sama, yaitu adapun yang dimaksud Periwayatan hadits adalah proses penerimaan (naql dan tahammul) hadits oleh seorang rawi dari gurunya dan setelah dipahami, dihafalkan, dihayati, diamalkan (dhabth), ditulis di-tadwin (tahrir), dan disampaikan kepada orang lain sebagai murid (ada’) dengan menyebutkan sumber pemberitaan riwayat tersebut. [4]
     B. Ketentuan Periwayatan Hadis Secara Makna
Membicarakan matan hadist harus bertolak dari sejarah. Pada zaman Nabi tidak seluruh hadis ditulis oleh para sahabat nabi. Hadis nabi disampaikan oleh sahabat kepada periwayat lain lebih banyak berlangsung secara lisan. Hadis nabi yang dimungkinkan diriwayatkan secara lafal oleh sahabat sebagaipertama hanyalah hadis yang dalam bentuk sabda. Sedang hadis yang tidak dalam bentuk sabda hanya di mungkinkan dapat diriwayatkan secara makna. [5]
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis.
 Adapun Sahabat yang membolehkan periwayatan hadis secara makna adalah:
1.    ‘Abd Allah ibn Mas’ut
Dalam meriwatkan hadis beliau menggunakan kata-kata”Bersabda Rasulullah SAW begini,atau seperti itu,atau mendekati pengertian ini.
2.    ‘Ainsyah r.a.
Dalam periwayaan hadis dengan redaksi yang berbeda,namun maknanya sama tidak mengapa yaitu boleh dilakukan.
            Dikalangan tabi’in dan ulama yang membolehkan periwayatan hadis secara makna adalah Al-Hasan al-bashri,Ibrahim al-Nakha’i, dn ‘Amir al-Sya’bi.
Beberapa Ketentuan Dalam Periwayatan Hadis Secara Makna:
Pada masa Abu baker r.a. dan Umar r.a.periwayatan hadis diawasi secara hati-hati dan tidak akan diterima jika tidak disaksikan kebenarannya oleh orang lain. Dan Kebanyakan ulama hadis membolehkan periwayatan hadis secara makna meskipun dilakukan oleh selain sahabat,ketentuan-ketentuan yang disepakati para ulama hadis adalah:

A.   Yang boleh meriwayatkan hadis secara makna hanyalah mereka yang benar-      benar memiliki pengetahuan bahasa Arab yang mendalam.
B.  Periwayatan dengan makna dilakukan bila sangat terpaksa, misalnya karena lupa susunan secara harfiah.
C.  Yang diriwatkan dengan makna bukanlah sabda nabi dalam bentuk bacaan yang sifatnya ta’abbudi,seperti bacaan zikir,doa azan’takbir dan syahadat,dan juga bukan sabda nabi yang dalam bentuk jawami”al-kalim
D.  periwayatan yang meriwayatkan hadis secara makna,atau yang mengalami keraguan   akan susunan matan hadis yang diriwayatkannnya,agar menambakan kata-kata, atau yang semakna dengannya,setelah menyatakan matan hadis yang bersangkutan.
E. kebolehan periwayatan hadis secara makna hanya terbatas padas masa sebelum dibukannya,maka periwayatan hadis harus secara lafaz.[6]

    C.Cara – Cara Periwayatan Hadis
Ada delapan macam kaifiyah tahammul wa al-ada’ atau sistem dan cara [7]penerimaan dan penyampaian hadis, yaitu sebagai berikut:
·       As-Sama’                                                        Al-Mukatabah
·       Al-Qira’ah                                                       Al-I’lam
·       Al-Ijazah                                                         Al-Wasiyyah
·       Al-Munawalah                                                Al-Wijadah

D.Macam-MacamPeriwayatanHadits
           Macam-Macam Periwayatan hadits adalah sebagai berikut :
A.Riwayat Al-Aqran dan Mudabbaj
Apabila seorang rawi meriwayatkan sebuah hadits dari kawan-kawannya yang sebaya umurnya atau yang sama-sama belajar dari seorang guru, maka periwayatannya disebut riwayat al-aqran.sedangkan jika masing-masing rawi yang segenerasi tersebut saling meriwayatkan hadits, periwayatannya disebut riwayat mudabbaj. Riwayat al-aqran dan mudabbaj biasa terjadi untuk setiap thabaqhah rawi, sahabat, tabi’in,dan lain-lain.
B.Riwayat Al-Akabir an’ Al-Ashaghir
           Maksudnya adalah periwayatan hadis oleh seorang yang lebih tua atau yang lebih banyak ilmunya kepada orang yang lebih muda atau lebih sedikit ilmunya. Seperti contoh, riwayat shahabat dari tabi’in (Ibn ‘Abbas dari Ka’ab al-Akhbar), tabi’in dari tabi’at tabi’in (Az-Zuhri dari Malik), ayah dari anak (Ibn Abbas dari Fadhal,dll.

C.RiwayatAn’ At-Tabi’in ‘An Ash-Shahabat

             Maksudnya periwayatan seorang sahabat yang menerima hadist dari seorang tabi’in yang telah menerima hadis dari sahabat lain. Seperti contoh ,riwayat Sahal ibn Sa’ad (sahabat) yang menerima hadist dari Marwan ibn Hakam (tabi’in) yang menerima hadist dari Zaid ibn Tsabit (Sahabat).

D. Riwayat As-Sabiq Dan Riwayatal-Lahiq

              Apabila dua orang rawi pernah bersama-sama menerima hadits dari seorang guru, kemudian salah seorang darinya meninggal dunia, namun sebelum meninggal dunia ia pernah meriwayatkan hadits tersebut. Maka riwayat rawi yang meninggal tersebut disebut riwayat as-sabiq, sedangkan riwayat yang disampaikan oleh rawi yang meninggal lebih akhir tersebut disebut riwayat al-lahiq.

E.RiwayatMusalsal
        
  Dalam bahasa arab kata musalsal artinya tali-temali. Maksudnya terdapat satu sifat, keadaan atau perkataan yang selalu sesuai, bias terjadi pada rawi dan pada periwayatannya. Musalsal fi al-riwayah dapat mengenai:
a) Shighat meriwayatkan hadits, yakni bila masing-masing rawi yang meriwayatkan hadits tersebut selalu menyesuaikan dengan shighat sami’tu, haddatsaniy, dan lain-lain, rawi yang kemudian pun melakukan hal yang demikian.
b) Masa meriwayatkan, misalnya meriwayatkan suatu hadits selalu pada masa tertentu.
c) Tempat meriwayatkan, yakni hadits selalu diriwayatkan atau dibacakan di tempat-tempat tertentu.

F.Riwayat Mutafiq Dan Muttariq

          Apabila ada penyesuaian riwayat antara rawi yang satu dengan yang lain mengenai nama asli, nama samaran, keturunan dan sebagainya dalam ucapan maupun tulisan, tetapi berlainan orangnya yang dimaksud dengan nama tersebut disebut muttafiq, dan sebagai lawannya disebut muftariq. Misalnya rawi yang bernama Hammad ada dua, Hammad ibn Zaid dan Hammad ibn Salamah.
G.Riwayat Mu’talif Dan Mukhtalif

           Apabila terjadi kesamaan nama rawi, kuniyah dan laqab itu pada bentuk tulisan sedangkan pada lafazh atau ucapannya tidak disebut mu’talif dan sebagai lawannya disebut mukhtalif. Misalnya, rawi Sallam (dengan satu huruf yang dirangkap) tulisannya sama dengan Salam (tidak ada huruf yang dirangkap).

E.   Periwayatan Hadist Pada Zaman Nabi
Nabi dalam melaksanakan tugas sucinya yakni sebagai Rasul berdakwah, menyampaikan dan mengajarkan risalah islamiyah kepada umatnya. Nabi sebagai sumber hadis menjadi figur sentral yang mendapat perhatian para sahabat. Segala aktifitas beliau seperti perkataan, perbuatan dan segala keputusan beliau diingat dan disampaikan kepada sahabat lain yang tidak menyaksikannya, karena tidak seluruh sahabat dapat hadir di majelis Nabi dan tidak seluruhnya selalu menemani beliau. Bagi mereka yang hadir dan mendapatkan hadits dari beliau berkewajiban menyampaikan apa yang dilihat dan apa yang didengar dari Rasulullah SAW. Baik ayat-ayat Al-Qur’an maupun Hadits-Hadits dari Rasulullah. Mereka sangat antusias dan patuh pada perintah-perintah Nabi SAW.  
Hadis yang diterima oleh para sahabat cepat tersebar di masyarakat. Karena, para sahabat pada umumnya sangat berminat untuk memperoleh hadis Nabi dan kemudian menyampaikannya kepada orang lain. [8]Hal ini terbukti dengan beberapa pengakuan sahabat Nabi sendiri, misalnya sebagai berikut:

1. umar bin al-Kaththab telah membagi tugas dengan tetangganya untuk mencari berita yang berasal dari Nabi. Kata ‘Umar, bila, tetangganya hari ini menemui Nabi, maka ‘Umar pada esok harinya menemui Nabi. Siapa yang bertugas menemui Nabi dan memperoleh berita yang berasal atau berkenaan dengan Nabi, maka dia segera menyampaikan berita itu kepada yang tidak bertugas. Dengan demikian, para sahabat Nabi yang kebetulan sibuk tidak sempat menemui Nabi, mereka tetap juga dapat memperoleh hadis dari sahabat yang sempat bertemu dengan Nabi.

2. Malik bin al-Huwayris menyatakan :
ا تيت ا لنبي ص ف نفر من قؤ مي فا قمنا عند ه عشر ين ليلة ؤ كا ن ر حيما ر فيق فلما ر ا ي شؤ قنا ا لي ا ها لينا قا ل : ا ر جعؤ ا فكؤ نؤا فيهم ؤ علمؤ هم ؤ صلؤا فا ذاحضرت الصلا ة فليؤذن لكم احدكم ؤايؤمكم اكبركم.(روه البخاي عن ما لك بن الحؤيرث)
Artinya : Saya  (Malik bin al-Huwayris) dalam satu rombongan kaum saya datang kepada Nabi saw. Kami tinggal disisi beliau selama dua puluh malam. Beliau adalah seorang penyayang dan akrab. Tatkala beliau melihat kami telah merasa rindu kepada para keluarga kami, beliau bersabda; “Kalian pulanglah, tinggallah bersama keluarga kalian, ajarlah mereka, dan lakukan shalat bersama mereka.
3. Al-Bara’ bin ‘Azib al-Awsiy telah menyatakan:
ليس كلنا كا ن يسمع حد يث ر سؤ ل الله ص ك نت لنا ضيعه ؤ ا شغا ل ؤ لكن ا لنا س لم يكؤ نؤا يكذ بؤ ن يؤ مءذ فيحد ث ا لشا هد ا لغا ءب
Artinya : Tidaklah kami semua (dapat langsung) mendengar hadis Rasulullah saw. (Kerena diantara) kami ada yang tidak memiliki waktu, atau sangat sibuk. Akan tetapi ketika itu orang-orang tidak ada yang berani melakukan kedustaan (terhadap hadis Nabi). Orang-orang yang hadir (menyaksikan terjadinya hadis Nabi) memberitakan (hadis itu) kepada orang-orang yang tidak hadir.
Pernyataan al-Bara’ ini memberi petunjuk: (1) Hadis yang diketahui oleh sahabat tidaklah seluruhnya langsung diterima dari Nabi, melainkan ada juga yang diterima melalui sahabat lain; (2) walaupun para sahabat banyak yang sibuk, tetapi kesibukan itu tidak menghalangi kelancaran penyebaran hadis Nabi.
Dalam menyampaikan hadits-haditsnya, Nabi menempuh beberapa cara, yaitu :
Pertamamelalui majelis al-‘ilm, yaitu pusat atau tempat pengajian yang diadakan oleh Nabi untuk membinah para jemaah, melalui majelis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka berusaha untuk selalu mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
Kedua, dalam banyak kesempatan Rasulullah jg menyampaikan haditsnya melalui para sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikannya kepada orang lain. Hal ini karena terkadang ketika nabi menyampaikan suatu hadits, para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, baik karena disengaja oleh Rasulullah sendiri atau secara kebetulan para sahabat yang hadir hanya beberapa orang saja, bahkan hanya satu orang saja.
Ketiga, untuk hal-hal sensitif, seperti yang berkaitan dengan soal keuarga dan kebutuhan biologis, terutama yang menyangkut hubungan suami istri, Nabi menyampaikan melalui istri-istrinya.
Keempat, melalui ceramah atau pidato di tempat terbuka, seperti ketika futuh Mekkah dan haji wada’. Ketika menunaikan ibadah Haji pada tahun 10 H (631 M), Nabi menyampaikan Khotbah yang sangat bersejarah di depan ratusan ribu kaum muslimin yang melakukan ibadah haji, yang isinya banyak terkait dengan bidang muamalah, siyasah, jinayah, dan hak asasi manusia.
Kelima, melalui perbuatan langsung yang disaksikan oleh para sahabatnya, yaitu dengan jalan musyahadah, seperti yang berkaitan dengan praktik-praktik ibadah dan muamalah. Peristiwa-peristiwa yang terjadi pada Nabi lalu Nabi menjelaskan hukumnya dan berita itu tersebar dikalangan umat islam.

F.    Periwayatan Hadis pada Masa Sahabat
Setelah Nabi wafat (11 H = 632 M), sahabat tidak dapat lagi mendengar sabda-sabda, menyaksikan perbuatan-perbuatan dan hal ihwal Nabi secara langsung. Kepada umatnya beliau juga meninggalkan dua pegangan sebagai dasar bagi pedoman hidup, yaitu Al-Qur’an dan Hadits (as-Sunnah) yang harus dipegangi dalam seluruh aspek kehidupan umat.
 kendali kepemimpinan ummat islam berada ditangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan itu adalah Abu Bakar al-Shiddiq kemudian disusul oleh ‘Umar bin al-Khaththab ‘Usman bin ‘Affan dan ‘Aliy bin Abiy Thalib keempat khalifa ini dalam sejarah dikenal denga sebutan al-Khulafa’ al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut dengan Zaman Sahabat Besar.[9]
Dalam praktiknya, ada dua cara sahabat meriwayatkan suatu hadits, yaitu :
1.    Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW. Yang mereka hafal benar lafazh dari Nabi.
2.    Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.

G.  Periwayatan Hadits Pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat, para tabi’in juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits. Hanya saja, beban mereka tidak terlalu berat jika dibandingkan dengan yang dihadapi para sahabat. Pada masa ini, Al-Qur’an sudah dikumpulkan dalam satu mushaf, sehingga tidak lagi mengkhawatirkan mereka. Selain itu, pada masa akhir periode al-Khulafa’ al-Rasyidun (masa khalifah ‘Utsman bin ‘Affan) para sahabat ahli hadits telah menyebar kebeberapa wilayah kekuasaan islam. Ini merupakan kemudahan bagi para tabi’in untuk mempelajari hadits-hadits dari mereka. Kondisi in

PENUTUP
A.Kesimpulan
periwayatan hadis ialah kegiatan penerimaan dan penyampaian hadist, serta penyandaran hadis itu kepada rangkaian para periwayatnya dengan bentuk-bentuk tertentu.
Orang yang telah menerima hadis dari seorang periwayat , tetapi dia tidak menyampaikan hadis itu kepada orang lain , maka dia tidak dapat disebut sebagai orang yang telah melakukan periwayatan hadis. “Sekiranya orang tersebut menyampaikan hadis yang telah diterimanya kepada orang lain, Tetapi ketika menyampaikan hadis itu dia tidak menyebutkan rangkaian periwayatnya, maka orang tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai orang yang telah  melakukan periwayatan hadis”.
Periwayatan hadis yang dilakukan secara makna, adalah penyebab terjadiya perbedaan kandungan atau redaksi matan dari suatu hadis,yang boleh meriwayatkan hadist adalah mereka yang memiliki kemampuan bhs.arab yang mendalam,dan periwayatan secara makna boleh dilakukan apabila dalam keadaan terpaksa dan apabila mengalami keraguan akan susuna matan hadist,serta periwayatan secara makna harus secara lafadz,


B.Saran
Diakhir tulisan ini kami selaku penulis ingin menyampaikan beberapa saran kepada pembaca:
1.  Dalam memahami Islam hendaknya kita bersifat inklusif terhadap beberapa hasanah pemikiran tentang segala hal. Sehingga ajaran Islam dapat menjadi dinamis dan dapat menjawab berbagai tuntunan perubahan zaman.
2.  Hendaknya setiap orang tetap bersifat terbuka terhadap berbagai pendekatan dan system pendidikan yang ada. Karena hal itu akan menambah kekayaan khasanah intelektual dan wawasan kependidikan bagi semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Syuhudi, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis,Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995.
Assa’idi, Sa’dullah, Hadis-Hadis Sekte, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset,1996.
Juynboll, Kontroversi Hadis di Mesir, Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1999
Rajab, Kaidah Kesahihan Matan Hadis, Yogyakarta: Grha Guru, 2011.
Mbah Duan, Periwayatan Hadis ,(Online), (http://www.Mbahduan. Blogspot. Com, diakses 15 maret 2013)



[1] Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Hadis ( Cet. 2; Jakarta: PT Bulan                            Bintang, 1995), h. 23
[2] G. H. A . Juynboll, Kontroversi  Hadis di Mesir (Cet. 1; Bandung: Mizan Anggota IKAPI,                      1999), h. 167.

[3] Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Loc.cit.
[4] Drs. Sa’dullah Assa’idi, MA, Hadis-Hadis Sekte, (Cet. I; Yogyakarta : Pustaka  Pelajar,                        1996), h. 37.
[5] Dr. Rajab, M. Ag, Kaidah Kesahihan Matan Hadis(Cet. I; Yogyakarta : Grha Guru, 2011),                   h. 43.

[6] Ibid.
[7] Prof. Dr. H. M. Syuhudi Ismail, Op.cit, h.36
[8]  Ibid.

[9] Ibid., h. 52.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN