Tafwidhiyah dan Tanfidziyah

Kata Pengantar

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Fiqihsiyasah
    Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
   
    Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari kalian semua agar kami dapat memperbaiki kesalahan kami
   
    Akhir kata kami berharap semoga makalah Fiqih siyasah ini dapat bermamfaat bagi kita semua.






 Tafwidhiyah dan Tanfidziyah


   A.     Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori)
Adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun mengikuti pendapat para hakim. Namun juga berhak manangani kasus kriminan (mazalim) baik langsung maupun mewakilkan kepada orang lain. Selain itu juga berhak memimpin perang. Dengan kata lain kewenangan imam adalah juga kewenangan wazir, kecuali tiga hal ;
1) penentuan putra mahkota,
2) imam boleh mengundurkan diri dari jabatan imamah,
3) imam berwenang mencopot orang yang ditunjuk wazir, sementara wazir tidak bisa mencopot orang yang ditunjuk imam.
Adapun syarat yang harus dipenuhi wazir adalah sama dengan syarat menjadi imam kecuali nasab (keturunannya), akan tetapi ditambah dengan satu syarat yakni mampu mengurus perang dan perpajakan.

  B.      Wizarat al-Tanfidz (Kementrian Pelaksana)
Adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara. Ia tidak mempunyai wewenang apapun. Jika ia dilibatkan oleh imam untuk memberikan pendapat, maka ia memiliki fungsi sebagai kewaziran, jika tidak dilibatkan, ia lebih merupakan perantara (utusan) belaka.
Posisinya lebih lemah dan tidak ada syarat yang berat bagi seorang wazir model ini. Prinsipnya, dia harus mematuhi dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh khalifa, selain ia harus memenuhi beberapa syarat misalnya; dapat dipercaya (jujur), benar ucapannya, tidak rakus sehingga tidak menerima suap, tidak ada permusuhan dan kebencian rakyat, harus seorang laki-laki dan harus cerdas, yang syarat ini hanya diperlukan jika ia dilibatkan dalam memberikan pendapat.
Al-Mawardi menyebutkan beberapa perbedaan antara wazir tafwidh dan wazir tanfidz, yakni :
1. Wazir tafwidh bisa menentukan hukum sendiri dan boleh menangani kasus-kasus mazalim;.
2. Wazir tafwidh bisa menunjuk wali-wali (pimpinan daerah);
3. Wazir tafwidh bisa memimpin tentara dan mengurus perang;
4. Wazir tafwidh basa mendayagunakan kekayaan negara yang ada di bait al-mal.
Kempat wewenang ini tidak dimiliki oleh wazir tanfidz.
Karena perbedaan diatas, maka ada pula perbedaan syarat yang harus dipenuhi Wazir tafwidh, yakni :
1. Wazir tafwidh haruslah seorang yang merdeka;
2. Wazir tafwidh harus memiliki pengetahuan tentang syari’at;
3. Wazir tafwidh harus mengetahui masalah-masalah yang berkaitan dengan peperangan dan perpajakan.
Diluar itu baik Wazir tafwidh maupun Wazir tanfidz memiliki kewenangan dan persyaratan yang sama. Menurut al-Mawardi, Seorang khalifah (imam) bisa mengangkat dua orang Wazir tanfidz secara bersamaan baik waktu maupun tempat.
Dalam negara islam juga mempunyai lembaganya masing-masing, antara lain ada tiga macam yaitu :
   1.      Legislatif (تشريعي)
   2.      Eksekutif (تنفيذي)
   3.      Yudikatif (السلطة القضائية)
Ketiga lembaga tersebut mempunyai kewenangannya masing-masing.

 Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif

    1.      Legislatif (تشريعي)
Merupakan merupakan lembaga yang berdasarkan triminologi fiqh disebut sebagai “lembaga penengah dan pemberi fatwa” (ahl al-hall wa al-‘aqd). Cukup jelas bahwa suatu negara yang didirikan dengan dasar kedaulatan de jure Tuhan tidak dapat melakukan legislasi yang bertolak belakang dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sekalipun konsensus rakyat menuntunnya. Baru saja saya membeberkan perintah Al-Qur’an yang mengatur bahwa jika Allah dan/atau Rasul-Nya telah memberi peraturan didalam suatu masalah, tak seorang Muslim pun berhak untuk memutuskannya sesuai dengan pendapatnya sendiri1 dan bahwa orang-orang yang tidak membuat keputusan berdasarkan Al-Qur’an atau Kalam Ilahi ini adalah orang-orang kafir2. Dari perintah-perintah ini, maka secara otomatis timbul prinsip bahwa Tasyri’iyah (lembaga legislatif) dalam negara Islam sama sekali tidak berhak membuat perundang-undangan yang bertentangan dengan tuntunan-tuntunan Tuhan dan Rasul-Nya, dan semua cabang legislasi, meskipun telah disahkan oleh Tasyri’iyah (lembaga legislatif) harus secara ipso facto(menurut kenyataan sendiri) dianggap ultra vires(melebihi) dari undang-undang Dasar. Padahal sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa syariat itu sendiri tidak menjelaskan secara detail untuk semua kebutuhan yang begitu banyak dan berubah-ubah dari kehidupan sosial kita3.
Jika hal ini kita kaitkan dengan pemerintahan kita saat ini maka yang memiliki kewenangan dalam masalah di atas adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Lemabaga ini adalah lembaga yang mengurusi Undang-Undang dan hukum yang relevan dengan situasi untuk kemaslahatan hidup manusia dan sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum tersebut. Sedangkan dalam sebuah negara Islam yang berwenang dalam hal ini adalah Majlis Tanfidz, yang mana di dalamnya di duduki oleh para mujtahid dan ulama fatwa. Dalam masalah ini kewenangannya tidak lepas dari dua perkara, yaitu : 1) jika perkara yang dinisbatkan ada nasnya, maka tugas mereka adalah memahami nas dan menjelaskan hukum yang ditunjukkannya.2) jika suatu perkara tidak ada nasnya, maka tugas mereka adalah menganalogikan dengan perkara yang ada nasnya, dan mengistinbatkan hukum dengan jalan ijtihad serta mencari sebab dan menelitinya. Hal ini dikarenakan dalam pemerintahan Islam mempunyai undang-undang pokok dari Tuhan yang disyariatkan Allah SWT didalam Al-Qur’an dan Hadis. Maka apabila di dalam suatu undang-undang terdapat nas, maka wajib diikuti. Dan tugas para ulama adalah membahas dan mengetahui hukum yang dimaksud oleh isi kandungan nas tersebut, sehingga aplikasi hukum menjadi benar. Apabila didalam suatu unadang-undang tidak ada nas, maka para Mujthid (ahli hukum) tersebut harus berijtihad dan beristinbat hal ini sebagai dasar undang-undang. Selanjutnya para Mujtahid tersebut tinggal menetapkan hukum terhadap perkara yang ada nasnya.
Setiap pemerintahan Islam Pada setiap masa pasti membutuhkan segolongan Ulama’ ahli ijtihad yang memenuhi syarat dan berkemampuan sempurna dalam memahami nas dasar undang-undang Tuhan dan peranannya. Selain itu harus pula menguasai ketetapan hukum terhadap masalah dan persoalan baru yang muncul tentang kemaslahatan dan kebutuhan manusia.4
Tasyri’iyah (lembaga legislatif) dalam suatu negara Islam juga memiliki sejumlah fungsi lain yang harus dilakukan, yaitu:
Jika terdapat pedoman-pedoman yang jelas dari Tuhan dan Rasul-Nya., meskipun legislatif tidak dapat mengubah atau menggantinya, namun demikian dalam hal ini hanya legislatiflah yang lebih berkompoten untuk menegakkannya dalam susunan dan bentuk pasal demi pasal, dengan menggunakan defenisi-defenisi yang relevan serta rincian-rinciannya, juga menciptakan peraturan-peraturan dan undang-undang untuk mengundangkannya.
Jika pedoman-pedoman dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah mempunyai kemungkinan interpretasi(pendapat) lebih dari satu, maka legislatiflah yang berhak memutuskan penafsiran mana yang harus ditempatkan dalam kitab Undang-undang dasar. Untuk tujuan ini tidak ada tawar menawar lagi yang mana bahwa Tasyri’iyah (lembaga legislatif) harus beranggotakan kumpulan orang-orang terpelajar yang memiliki kemampuan serta kapasitas untuk menafsirkan perintah-perintah Al-Qur’an dan dalam memberikan berbagai keputusan tidak akan melepaskan diri dari jiwa atau isi syari’ah itu sendiri. Pada dasarnya, harus di akui bahwa untuk tujuan perundang-undangan, suatu lembaga legislatif (Tasyri’iyah) harus memiliki kewenangan untuk memberikan fatwa mengenai penafsiran mana yang harus lebih dipilih dan untuk menegakkan penafsiran yang dipilihnya sebagai hukum, kecuali bahwa penafsiran itu hanya satu dan bukan merupakan pelanggaran atau penyimpangan semua dari hukum itu sendiri.
Jika tidak ada isyarat yang jelas dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, fungsi Tasyri’iyah (lembaga legislatif) ini adalah untuk menegakkan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah yang sama, tentunya dengan selalu menjaga jiwa hukum Islam. Dan jika sudah ada hukum-hukum dalam bidang yang sama yang telah tercantum dalam kitab-kitab fiqh, maka dia bertugas untuk menganut salah satu di antaranya.

Jika dalam masalah apapun Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak memberikan pedoman yang sifatnya dasar sekalipun, atau masalah ini juga tidak ada dalam konvensi Al-Khulafa Al-Rasyidin, maka kita harus mengartikan bahwa Tuhan telah membiarkan kita bebas melakukan legislasi mengenai masalah ini menurut apa yang terbaik. Oleh karenanya, dalam kasus semacam ini Tasyri’iyah (lembaga legislatif) dapat merumuskan hukum tanpa batasan, sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan semangat Syari’ah prinsip yang menyatakan bahwa apapun yang tidak diharamkan itu halal hukumnya.

   2.      Eksekutif (تنفيذي)
Dalam suatu Negara İslam, tujuan sebenarnya dari Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) adalah untuk menjalankan pedoman-pedoman Tuhan yang disampaikan melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah serta untuk menyiapkan masyarakat agar mengakui dan menganut pedoman-pedoman ini untuk dijalankan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karakteristik Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) suatu negara Muslim inilah yang membedakannya dari lembaga eksekutif negara non-Muslim. Kata-kata ulul amri dan umara digunakan masing-masing didalam Al-Qur’an dan Hadis untuk menyatakan Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif).5 Dalam hal ini zhul Amir adalah sebagai kepala dalam Majlis Tanfidz (lembaga eksekutif) ini. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa Amir itu harus mempunyai kekuasaan yang luas dalam majlis ini. Kepala Majlis Tanfidz ini di beri kuasa untuk membuat peraturan-peraturan yang bersifat umum, akan tetapi dalam hal urusan Administarasi negara kepala Majlis Tanfidz tidak diperkenankan untuk ikut terlibat di dalamnya, karena kepala Majlis Tanfidz wewenangnya hanya sebatas kepala majlis saja. Jika sekiranya semua kekuasaan ada ditangannya atau kepala pemerintahan dikendalikan juga olehnya maka bagaimana kemudian jika ada masalah dalam negara apakah semua masalah dalam negara tersebut akan di serahkan semua kepadanya. Ataukah ia menyelesaikan masalah tersebut dengan cara mencari kawan, ataukah juga ia meminta bantuan kepada para anggota yang mewakili partai-partai terkemuka yang duduk dalam lembaga legislatif dan menggantungkan segala tindakannya kepada partai-partai tersebut.6
Maka dalam rangka meringankan beban tersebut, seorang Amair harus menyerahkan sebagian tugas negara kepada para pejabat pemerintah dalam hal ini para pejabat pemerintahan bekerja langsung di bawah Amir. Namun jika dalam perjalanannya/keputusannya nanti terdapat kelalaian seorang Amir tidak dapat begitu saja memberhentikan atau mempengaruhi keputusan-keputusan mereka, sekalipun kapasitasnya sebagai Amir (kepala negara) atau pribadinya. Jika kemudia seseorang mengajukan dakwaan kepada amir, maka sang amir harus hadir dan melakukan pembelaan di hadapan qadhi sebagaimana layaknya orang kebanyakan . Dalam masalah di atas kita belum pernah menemukan satu contoh pun dimana seseorang sekaligus merangkap jabatan di bidang yang sama; atau dimana kolektor atau gubernur atau bahkan seorang Amir mengikuti keputusan kehakiman. Jadi tidak seorang pun, tidak juga orang pertama negara, yang dikecualikan dari kewajiban untuk tampil di depan hakim untuk membela perkara perdata atau pidananya.
Berdasarkan tuntutan-tuntutan kebutuhan kita yang ada sekarang ini, maka kita dapat mengubah atau mengganti rincian-rinciannya. Tetapi kita harus tetap mempertahankan prinsip-prinsip fundamentalnya. Umpamanya, kita dapat mempertimbangkan kembali kekuasaan Amir (kepala negara) dan mengubahnya sesuai dengan kebutuhan. Banyak bukti bahwa di zaman sekarang ini, kita tidak dapat banyak berharap untuk mendapatkan atau menemukan seorang Amir yang kaliber dan standar ruhaniahnya menyamai Al-Khulafa Al-Rasyidun. Oleh karena itu kita dapat mempertimbangkan serta membatasi kekuasaan-kekuasaan administratif mereka untuk tetap melindungi diri terhadap kecendrungan-kecendrungan kediktatoran. Kita juga bisa membatasi dia untuk tidak mendengar serta memutuskan perkara hukum, sehingga mereka tidak memiliki peluang untuk merusak jalannya pengadilan.
Dengan demikian, kita juga dibolehkan membuat beberapa perubahan, misalnya untuk:
·         memperbaharui undang-undang atau peraturan agar selaras dengan kebutuhan kita sekarang untuk pelaksanaan pemilihan Amir (kepala negara). Atau juga mengundangkan undang-undang untuk melaksanakan urusan legislatif.
·         menjelaskan dan menetapkan kekuasaan-kekuasaan serta status berbagai pengadilan.7
Sebagai Rakyat tentunya apapun keputusan Amir harus di patuhi, hal ini berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis, kaum Muslimin diperintahkan untuk menaatinya dengan syarat bahwa Tanfidz (eksekutif) ini menaati Allah dan Rasul-Nya serta menghindari dosa dan pelanggaran alias tidak melakukan maksiat.

   3.      Yudikatif (السلطة القضائية/Al-shulthatul Qadhaiyahiyatul)
Yudikatif adalah lembaga yang mengawal serta memantau jalannya perundang-undangan yang di buat oleh lembaga legislatif. Ketika Islam mendirikan negaranya sesuai dengan prinsip-prinsip abadinya, Rasulullah saw sendirilah yang menjadi hakim pertama negara tersebut, dan beliau melaksanakan fungsi ini dengan sangat selaras dengan hukum Tuhan. Orang-orang yang melanjutkannya tidak memiliki alternatif lain kecuali mendasarkan keputusan mereka pada hukum Tuhan sebagaimana yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw kepada mereka.8
Mengenai Majlis Qadhaiyah (Lembaga Yudikatif) ulama banyak berbeda pendapat utamanya mengenai syariah yang tidak menerangkan secara detail salah satu sistem pengadilan, namun dalam syariah itu sendiri hanya memberikan batasan pada undang-undang pokok secara umum yang menyangkut susila pengadilan (termasuk cara dimana hakim harus bertindak). Adapun undang-undang dari pengadilan, yaitu dapat dikatakan bahwa susunan dan sistem pembinaannya diserahkan saja kepada keinginan masyarakat, dengan kata lain diserahkan kepada ijtihad pada masa itu. Oleh karena itu nyatalah bahwa konstitusi bebas untuk membuat sistem apa saja terhadap pengadilan yang dapat mendatangkan maslahah pada zaman itu dengan syarat hukum itu diatur sesui dengan dasar syari’at. Namun sekiranya jika syari’at itu benar-benar akan dijadikan Undang-Undang Umum, misalnya negara kita harus menjadi negara Islam maka sudah seharus tiap hakim sudah menjadi hakim syara’ artinya ia tidak hanya menguasai Undang-undang yang telah ditetapkan oleh Majlis Taqnin (legislatif) tetapi juga ia harus menguasai semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Qur’an dan Sunnah. Oleh karena semua sistem Undang-Undang harus di pengaruhi oleh prinsip syari’ah, yang dimulai dengan undang-undang yang berdasarkan aturan yang jelas yang berasal dari Qur’an dan Sunnah yang berkaitan dengan hal-hal umum dan selanjutnya perkembangan undang-undang yang datang dari legislatif yang semua permasalahannya tidak diterangkan oleh syari’ah.9
Jika Majlis Qadhaiyah kita selaraskan dengan Lembaga Yudikatif saat ini maka kemandirian Yudikatif akan menjamin perdamaian dalam negeri suatu negara dan ketentaraman rakyat. Tidak akan ada jumlah hak atau hak-hak istimewa yang tertulis dalam undang-undang, yang dapat memberikan kepuasan jika pengadilan-pengadilan ini masih di interfensi oleh yang berkuasa. Akibatnya jika ada campur tangan dari pihak yang lebih berkuasa maka sangat susah untuk mengelola keadilan dalam lembaga pengadilan tersebut. Karena esensi kebaradaan negara sangat bergantung pada kepuasan rakyatnya.
Jika kita tari pada zaman Nabi dalam urusan peradilan ini, badan pengadilan Nabi saw mengikut perintah Allah swt. Sebagaimana firman-Nya “Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang telah diturunkan Allah (kepadamu), dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka...” (surah al Maidah ayat 49).
Sekalipun pada zaman Rasulullah SAW semua Bidang pemerintahan mulai dari kewenangan dan keputusan itu berada di tangan beliau, tetapi dalam proses penyelesaian masalah Rasulullah SAW selalu melibatkan para sahabatnya/perwakilan masyarakat, yang kemudian di selesaikan di suatu tempat melalui musyawarah. Atas dasar inilah kemudian kita mengenal konsep syura dalam Islam’.
Demikain halnya dengan masalah peradilan bertugas. Karena begitu seriusnya masalah peradilan ini, Rasulullah saw mengangkat Rasyid bin Abdullah sebagai amir untuk keperluan pengadilan dan mencegah kezaliman. Namun, kadang-kadang tugas ini dipegang sendiri oleh Rasulullah saw. Selain tugas-tugas peradilan di atas, ada “Qadhaiyah al hisbah”, yang langsung mengadili pelakunya. Pada masa Rasulullah saw, Sa’id bin Al Ash bertugas di pasar Makkah sedangkan Umar bertugas di pasar Madinah. Badan pengadilan in bertugas menyelesaikan perselisihan yang terjadi antara sesama masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jama’ah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara warga masyarakat dengan pegawai pemerintah, baik Khalifah, pejabat atau pegawai lainnya.10

Kesimpulan
Wizarat al-tafwidh (kementrian delegatori) adalah wazir oleh imam diserahi tugas/wewenang tentang pengaturan urusan-urusan (negara dan pemerintahan) berdasarkan pikiran dan ijtihad para wazir sendiri maupun mengikuti pendapat para hakim.
Wizarat al-tanfidz (kementrian pelaksana) adalah wazir yang hanya melaksanakan apa yang diperintahkan oleh imam dan menjalankan apa yang telah diputuskan oleh imam, misalnya pengangkatan wali dan penyiapan tentara.
Dan lembaga penyelenggaranya adalah sebagai berikut :
-           Legislatif (تشريعي)
-           Eksekutif (تنفيذي)
-           Yudikatif (السلطة القضائية)


 footnote
1. QS Al-Ahzab : 36
2. QS Al-Ma-idah : 44
3. Abu A’la Al-Maududi”Sistem Politik Islam” ( Bandung : Mizan, 1993), Cet II. hl. 247
4.     Abdul Wahab Khalaf”Politik Hukum Islam” ( Jogjakarta : Tiara Wacana, 2005), cet II. hl. 47-48
5.     opcit hl. 251
6.     Mohammad Asad”Masalah Kenegaraan dalam Islam” ( Jakarta : Yayasan Kesejahteraan           Bersama), hl. 55
7.     lokcit hl. 250
8.     Abdul Karim Zaidan,”Masalah Kenegaraan Dalam Pandangan Islam” Jakarta : Yayasan Al-Amin, cet I. hl. 26
9.     Muhammad Asad, lokcit hl. 65
10.   M. Shiddiq Al Jawi , “Konsep Negara Islam Menurut Rasulullah dan Sahabat” hl. 25




                                  
Referensi
-       Al-Qur’an Al-Karim
-       http://hayatuna.blogspot.co.id/2007/06/lembaga-negara-islam.html

-       http://hlevt.blogspot.co.id/2008/09/konsep-politik-al-mawardi.html

Daftar pustaka
-           Ahmad, Muntaz (Terjemahan Ena Hadi, Mizan, 19996)993 : State, Political and Islam, London : Routledge.
-           Al-Mawardi, Abu al-Hasan tanpa tahun : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo : Mustafa al-Halabi wa Awladuh.
-           1960 : Al-Ahkam al-Sulthaniyyah, kairo : Mustafa al-Halabi wa Awladuh.
-           Al-Saqa, Mustafa (pengantar untuk al-Tafsir al-hawi oleh al-Mawardi)
-           985 : Al-Tafsir al-Hawi, Beirut : Dar al-Kutub al-Islamiyah

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN