Gender Dalam Perspektif HAM Islam




Gender Dalam Perspektif HAM Islam

A.    Pengertian Gender

Kata gender dalam bahasa Indonesia diambil dari bahasa Inggris yang secara harfiah “gender” berarti jenis kelamin. Secara etimologinya, gender merupakan berasal dari bahasa Inggris, yang di ambil dari kosa kata Perancis "gendre genre" yang berarti kind, genus, style, juga bersumber dari bahasa latin "gener" yang berarti race, kind. Dalam penggunaan sehari-hari, gender berarti jenis kelamin.[i]

Mengacu pada pendapat Mansour Faqih, Gender adalah suatu sifat yang melekat pada laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Misalnya bahwa perempuan itu lemah lembut, cantik, emosional, dan sebagainya. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa, dan tidak boleh menangis. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri dan sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ketempat yang lain, juga perubahan tersebut bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa bisa berubah, baik itu waktu maupun kelas.[ii]

Nasarudin Umar menjelaskan bahwa penentuan peran gender dalam berbagai sistem masyarakat, kebanyakan merujuk kepada tinjauan biologis atau jenis kelamin. Masyarakat selalu berlandaskan pada diferensiasi spesies antara laki-laki dan perempuan. Organ tubuh yang dimiliki oleh perempuan sangat berperan pada pertumbuhan kematangan emosional dan berpikirnya. Perempuan cenderung tingkat emosionalnya agak lambat. Sementara laki-laki yang mampu memproduksi dalam dirinya hormon testosterone membuat ia lebih agresif dan lebih obyektif.

Kata gender berasal dari bahasa Inggris berarti jenis kelamin. Dalam Webster's New World Dictionary, gender diartikan sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat. Sedangkan Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan (cultural expectations for women and men). Pendapat ini sejalan dengan pendapat kaum feminis, seperti Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk bidang kajian gender (What a given society defines as masculine or feminin is a component of gender).[iii]

Dari defenisi di atas, dapat diambil kesimpulan mengenai pengertian gender. Gender berarti suatu konsep kultural(budaya) yang membuat pembeda mengenai perilaku, mental dan karakteristik yang melekat antara laki-laki dan perempuan. Dalam hal ini gender lebih condong ke pengertian sifat yang melekat pada jenis kelamin seperti maskulinitas atau feminitas.

B.     Gender dalam perspektif Islam

Salah satu  tema pokok dalam ajaran agama Islam adalah prinsip persamaan antara manusia, baik laki-laki dan perempuan maupun antar bangsa suku, dan keturunan. Hal ini terdapat dalam QS. Al-Hujurat : 13[iv]

يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوبٗا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ

Artinya :

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Ayat tersebut memberikan gambaran kepada kita tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan baik dalam hal ibadah (dimensi spiritual) maupun dalam aktivitas sosial (urusan karier profesional). Ayat tersebut juga sekaligus mengikis tuntas pandangan yang menyatakan bahwa antara keduanya terdapat perbedaan yang memarginalkan salah satu diantara keduanya. persamaan tersebut meliputi berbagai hal misalnya dalam bidang ibadah. Siapa yang rajin ibadah, maka akan mendapat pahala lebih banyak tanpa melihat jenis kelaminnya. Perbedaan kemudian ada disebabkan kualitas nilai pengabdian dan ketakwaannya kepada Allah swt., Ayat ini juga mempertegas misi pokok al-Qur’an diturunkan adalah untuk membebaskan manusia dari berbagai bentuk diskriminasi dan penindasan, termasuk diskriminasi seksual, warna kulit, etnis dan ikatan-ikatan primordial lainnya. Namun demikian sekalipun secara teoritis al-qur’an mengandung prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, namun ternyata dalam tatanan implementasi seringkali prinsip-prinsip tersebut terabaikan.

Perspektif gender dalam al-Qur’an tidak sekedar mengatur keserasian relasi gender, hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat, tetapi lebih dari itu al-Qur’an juga mengatur keserasian pola relasi antara mikro-kosmos (manusia), makrokosmos (alam), dan Tuhan. Konsep berpasang-pasangan (azwâj) dalam al-Qur’an tidak saja menyangkut manusia melainkan juga binatang QS. al-Syura: 11, dan tumbuh-tumbuhan QS. Thaha: 53. Bahkan kalangan sufi menganggap makhluk-makhluk juga berpasang-pasangan.

Secara umum tampaknya al-Qur’an mengakui adanya perbedaan (distinction) antara laki-laki dan perempuan, tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan (discrimination) yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung obsesi al-Qur’an, yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang (mawaddah wa rahmah) di lingkungan keluarga QS. al-Rum: 21, sebagai cikal bakal terwujudnya komunitas ideal dalam suatu negeri damai penuh ampunan Tuhan (baldatun Thayyibatun wa rabbun ghafûr) QS. Saba: 15.

Pada masa Pra-islam, dalam tradisi Arab Jahiliyah perempuan dihalalkan untuk dibunuh hanya gara-gara terlahir sebagai bayi perempuan. Pada acara pernikahan, para tamu memberi ucapan "selamat" jika yang dilahirkan adalah anak laki-laki. Setelah menikah, perempuan menjadi hak penuh suami dan keluarganya. Ketika suaminya meninggal, ia tidak bisa menjadi pewaris melainkan benda yang diwariskan. Artinya sejarah telah mencatat bahwa sebelum Islam datang posisi wanita hanyalah sebagai obyek, bahkan sering dijadikan komoditas perbudakan dan “seksual”. Asumsi yang berkembang pada saat itu memandang wanita sebagai penghalang kemajuan, terutama di kala peperangan, karenanya lebih baik dikubur hidup-hidup jika ada bayi perempuan.

Hal itu, berbanding terbalik sejak Rasulullah SAW ada dan sejak saat beliau mulai menyebarkan Islam rahmatan lil ‘alamin ke pada manusia. Praktik-praktik tersebut perlahan dihapuskan dan dilarang pada wilayah Jazirah Arab. Bahkan ada sebuah hadits Nabi tentang wanita yang berkedudukan lebih utama yaitu ibu :

Dari Mu’awiyah bin Haidah Al Qusyairi radhialla’anhu, beliau bertanya kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak aku perlakukan dengan baik ? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi ? Nabi menjawab: Ibumu. Lalu siapa lagi ? menjawab: Ibumu.  Lalu siapa lagi ? Nabi menjawab: ayahmu, lalu yang lebih dekat setelahnya dan setelahnya” (HR. Al Bukhari dalam Adabul Mufrad, sanadnya hasan)

Dari hadis di atas, terlihat jelas bahwa sosok perempuan itu harus sangat dihormati. Bahkan, Rasulullah sendiri menyebutkannya sebanyak tiga kali dalam satu hadis. Ini membuktikan bahwa Islam sangat menjunjung tinggi nilai Hak Asasi terhadap peremuan.

Oleh karena itu, eksistensi perempuan dalam Islam benar-benar mendapat tempat yang mulia, dia adalah menjadi mitra sejajar laki-laki, tidak seperti dituduhkan oleh sementara masyarakat, bahwa Islam tidak menempatkan perempuan sebagai unsur sub-ordinat, kehadiran Islam justru melenyapkan diskriminasi pria-wanita.[v]

C.     Prinsip-prinsip Kesetaraan Gender

Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa ada beberapa variabel yang dapat digunakan sebagai standar dalam menganalisa prinsip-prinsip kesetaraan gender dalam al-Qur’an. Variabel-variabel tersebut antara lain sebagai berikut:

a.       Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai Hamba

Salah satu tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah Allah SWT. sebagaimana disebutkan dalam QS. al-Zariyat: 56

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ

Artinya :

“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku"

b.      Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi

Q.S. Al An’am : 165

وَهُوَ ٱلَّذِي جَعَلَكُمۡ خَلَٰٓئِفَ ٱلۡأَرۡضِ وَرَفَعَ بَعۡضَكُمۡ فَوۡقَ بَعۡضٖ دَرَجَٰتٖ لِّيَبۡلُوَكُمۡ فِي مَآ ءَاتَىٰكُمۡۗ إِنَّ رَبَّكَ سَرِيعُ ٱلۡعِقَابِ وَإِنَّهُۥ لَغَفُورٞ رَّحِيمُۢ

 

 

Artinya :

“Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Kata khalifah dalam ayat tersebut tidak menunjuk kepada salah satu jenis kelamin atau kelompok etnis tertentu. Laki-laki dan perempuan mempunyai fungsi yang sama sebagai khalifah, yang akan mempertanggungjawabkan tugas-tugas kekhalifahannya di bumi, sebagaimana halnya mereka harus bertanggung jawab sebagai hamba Tuhan.

c.       Laki-laki dan perempuan Menerima Perjanjian Primordial

Laki-laki dan perempuan sama-sama mengemban amanah dan menerima perjanjian primordial dengan Tuhan. Seperti diketahui, menjelang seorang anak manusia keluar dari rahim ibunya, ia terlebih dahulu harus menerima perjanjian dengan Tuhannya, sebagaimana disebutkan dalam QS. al-A’raf: 172

وَإِذۡ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِيٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمۡ ذُرِّيَّتَهُمۡ وَأَشۡهَدَهُمۡ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ أَلَسۡتُ بِرَبِّكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ شَهِدۡنَآۚ أَن تَقُولُواْ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنۡ هَٰذَا غَٰفِلِينَ

Artinya :

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengata- kan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”[vi]



[i] Ramli, Mohd Anuar, "Analisis Gender Dalam Hukum Islam", Jurnal Fiqh 9 (2012), hal. 137-162.

[ii] Mansour Faqih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 8-9

[iii] Suhra, Sarifa. "Kesetaraan Gender dalam Perspektif Al-Qur’ an dan Implikasinya terhadap Hukum Islam." Al-Ulum 13.2 (2013): 373-394.

[iv] Al-Qur’an.

[v] Muntoha. "Islam, Gender, dan HAM". UNISIA, Vol. XXXIII No. 73 (2010) hal : 17-35

[vi] Suhra, Safira, Op. Cit., hal. 380-381

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN