Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi dan Wewenangnya
A. Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi
1.
Awal Mula
Judicial Review
Sebuah peristiwa yang juga paling dikenal dalam sejarah judicial
review adalah apa yang dilakukan oleh John Marshall, Ketua Mahkamah Agung
Amerika Serikat. Ia membatalkan Judiciary Act 1789 karena isinya
dianggap bertentangan dengan konstitusi Amerika Serikat. Alasan yang
dikemukakan adalah bahwa hakim telah disumpah untuk menjunjung konstitusi,
sehingga jika ada peraturan yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka
hakim harus melakukan pengujian terhadap peraturan tersebut.
Alasan kedua yang dikemukakan Marshall adalah bahwa konstitusi
merupakan the supreme law of the land, sehingga harus ada peluang
pengujian terhadap peraturan yang dibawahnya agar isi konstitusi tidak
dilanggar. Alasan selanjutnya, hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga jika
ada yang mengajukan judicial review, maka permintaan itu harus dipenuhi.
2.
Konstelasi
Pemikiran Judicial review di Indonesia
Di Indonesia, mohammad Yamin merupakan tokoh pertama yang tercatat
mengajukan pemikiran tentang judicial review dalam sebuah forum resmi.
Ini terjadi pada 11 Juli 1949, saat sidang BPUPKI. Ia mengusulkan keberadaan
sebuah mahkamah yang bisa memutuskan; apakah sebuah peraturan berjalan sesuai
hukum adat, syariah, dan UUD.
Usulan ini menandakan bahwa pemikiran tentang judicial review
telah muncul pada awal pembentukan negeri ini. Bahkan, usulan ini
mengindikasikan bahwa ada sebagian kalangan yang menginginkan terciptanya
sebuah sistem pemerintahan yang berimbang (balance), dan menjunjung supremasi
konstitusi. Terlepas dari kenyataan bahwa kemudian usulan ini ditolak oleh
Soepomo dengan alasan sistem ketatanegaraan yang saat itu dianut oleh
Indonesia.
Alasan Soepomo sebenarnya masuk akal. Judicial Review bisa
dilaksanakan dengan sempurna apabila masing-masing lembaga ketatanegaraan
mempunyai kedudukan yang sejajar. Selain itu, alasan lainya adalah menyangkut
kesiapan para hakim dalam menangani kasus-kasus hukum dalam ranah pertentangan
peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi. Ada semacam keraguan dalam benak Soepomo
menyangkut skill hakim yang nantinya akan memutuskan masalah
ketatanegaraan ini.
3.
Gagasan
Pembentukan Mahkamah Konstitusi
Momentum terbentuknya pelembagaan judicial review mulai terjawab
pasca Indonesia mengalami perubahan kekuasaan. Amandemen terhadap UUD 1945
menjadi jalur bagi terbentuknya Mahkamah Konstitusi, yang notabene merupakan
lembaga khusus untuk mempraktekkan konsep judicial review ini. Proses Amandemen
UUD 1945 ini kemudian menghasilkan Panitia Ad Hoc (PAH) I Tahun 2000 yang
secara khusus membahas amandemen UUD 1945.
Usulan awal mengenai pembentukan Mahkamah Konstitusi tercatat pada
rapat ke-32 PAH I, pada 7 Mei 2000. Awalnya diusulkan bahwa Mahkamah Konstitusi
adalah lembaga yang sama sekali tidak permanen. “Mahkamah Konstitusi adalah
lembaga negara yang tidak permanen berfungsi sebagai pengadilan bagi
penyelenggara negara yang dianggap melanggar UUD menurut aturan yang ditetapkan
dengan UU,” ujar Gregorius Seto Harianto.
Berbeda dengan usulan tersebut, dimana akan muncul sebuah lembaga
baru bernama Mahkamah Konstitusi, Theo L. Sambuaga dari FPG menyatakan tidak memerlukan
kehadiran lembaga baru. Cukup hanya MPR yang pada nantinya akan berfungsi
sebagai Mahkamah Konstitusi. Dengan catatan, apabila ada pengaduan bahwa sebuah
undang-undang bertentangan dengan UUD.
Agak berbeda halnya dengan Theo, Asnawi Latief dari F-PDU
mengusulkan keberadaan Mahkamah Konstitusi perlu dibentuk dengan membubarkan
DPA. Tujuannya agar lembaga negara menjadi efektif dan efisien. Soedijarto dari
F-UG juga mengusulkan terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagai badan
tersendiri. Baginya, MPR adalah lembaga politik. “Power politik berada di situ,
sementara istilah mahkamah hakekatnya mengandung lembaga yang menegakkan rasa
keadilan dan kebenaran…” ujar Soedijarto.
Pembahasan mengenai Mahkamah Konstitusi dilanjutkan pada rapat
pleno PAH ke-41 pada 8 Juni 2000. Pada rapat ini sudah mulai mengerucut terkait
dengan pembentukan Mahkamah Konstitusi. Setidaknya ada 5 fraksi yang
mengusulkan pembentukan Mahkamah Konstitusi, yaitu; F-PG, F-PBB, F-PDKB, F-UG,
dan F-PDI Perjuangan. Menarik untuk dilihat adalah usulan Soetjipto dari F-UG.
Ia menambahkan agar wewenang Mahkamah Konstitusi tidak hanya menguji
undang-undang, tetapi juga mengadili persengketaan antar pemerintah pusat dan
daerah, pembubaran partai politik, dan persengketaan dalam pelaksanaan pemilu.
Selain dari pandangan fraksi yang ada, muncul juga usulan
masyarakat dan juga tim ahli. Wakil masyarakat yang memberi pandangan
diantaranya adalah Bambang Widjoyanto dari YLBHI, Anton Rienhart dari
Universitas Kristen Indonesia (UKI), dan Paulus Efendi Lotulung sebagai salah
satu wakil dari Mahkamah Agung. Dari ketiga wakil masyarakat tersebut semua
menyetujui agar dibentuk sebuah lembaga yang akan menguji undang-undang
terhadap UUD. Hanya saja memang belum semua bersepakat; apakah Mahkamah
Konstitusi berada satu tubuh dengan Mahkamah Agung atau memang terpisah sama
sekali.
Pada sisi lain, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa dari
pandangan awal, baik dari fraksi maupun pendapat tim ahli dan usulan
masyarakat, kesemuanya memberikan dalil betapa pentingnya keberadaan sebuah
lembaga dengan tugas khusus. Tugas tersebut adalah melakukan pengujian terhadap
apa yang telah dihasilkan oleh lembaga legislatif.
B.
Wewenang
Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan dengan batasan yang jelas
sebagai bentuk penghormatan atas konstitusionalisme. Batas-batas kewenangan
yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga yudisial
merupakan bentuk terselenggaranya sistem perimbangan kekuasaan di antara
lembaga negara (checks and balances).
Dasar filosofis dari wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi
adalah keadilan substantif dan prinsip-prinsip good governance.
Mahkamah Konstitusi memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban
konstitusional, yaitu menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar,
memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh
undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik; dan memutus
perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Satu kewajiban konstitusional
Mahkamah Konstitusi, yakni memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh presiden/dan atau wakil presiden
menurut Undang-Undang Dasar.
Dasar yuridis wewenang Mahkamah Konstitusi berasal dari
Undang-Undang Dasar 1945 yang diatur dalam Pasal 7A, Pasal 78, dan Pasal 24C
dan dijabarkan dengan Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003. Terhadap perorangan,
kesatuan masyarakat adat sepanjang masih hidup, badan hukum publik atau privat,
lembaga negara, partai politik, ataupun pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat,
jika hak dan/atau wewenang konstitusionalnya dirugikan, dapat mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
Referensi
Windrawan, Puguh. "Gagasan Judicial Review dan Terbentuknya
Mahkamah Konstitusi di Indonesia." dalam Jurnal Supremasi Hukum 2.1
(2013).
Komentar
Posting Komentar