Yurisdiksi Teritorial


YURISDIKSI TERITORIAL
(Prinsip-prinsip Yurisdiksi Teritorial : Hak Lintas Damai di Laut Teritorial)


    A.     Pengertian Yurisdiksi
Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.[1]
Menurut Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaan atau kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enfore) hukum yang dibuat oleh Negara atau bangsa itu sendiri.
Ada tiga macam yurisdiksi yang dimiliki oleh Negara yang berdaulat menurut John O’Brien, yaitu:
1 .       Kewenangan Negara untuk membuat ketentuan-ketentuan hukum terhadap orang, benda, peristiwa maupun perbuatan di wilayah teritorialnya (legislative jurisdiction or prescriptive jurisdiction) ;
2 .       Kewenangan Negara untuk memaksakan berlakunya ketentuan-ketentuan hukum nasionalnya (executive jurisdiction or enforcement jurisdiction) ;
3 .       Kewenangan pengadilan Negara untuk mengadili dan memberikan putusan hukum (yudicial jurisdiction).
Yurisdiksi dapat digolongkan kedalam prinsip-prinsip yurisdiksi salah satunya yurisdiksi terotorial. Yurisdiksi terotorial merupakan kewenangan negara atas teritorinya baik itu menyangkut orang, benda, hal atau masalah yang berada atau terjadi di dalam batas-batas wilayah dari Negara yang bersangkutan.

   B.      Prinsip Yurisdiksi Teritorial
Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan atau kejadian di dalam wilayahnya. prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan dalam hukum internasional. Oxman memandang wilayah dan penduduk yang berada di dalam wilayah merupakan dasar fundamental untuk dilaksanakannya yurisdiksi oleh negara.
Menurut Hakim Lord Macmillan, suatu negara memiliki yurisdiksi terhadap semua orang, benda, dan perkara-perkara pidana atau perdata dalam batas-batas wilayahnya sebagai pertanda bahwa negara tersebut berdaulat.
Prinsip teritorial ini terbagi dua, yaitu suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi :
1 .       Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif; dan
2 .       Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif.[2]
Dari kedua prinsip ini, kecenderngan yang tampak adalah banyaknya penerapan prinsip teritorial obyektif. salah satu contoh adalah sengketa the Lotus case (1927).
Terdapat hubungan yang sangat besar antar wilayah suatu negara dengan kewwenangan yurisdiksinya. Menurut Glanville Williams, hubungan yang erat seperti tersebut di atas, dapat dijelaskan karena adanya faktor-faktor berikut :
1 .       Negara dimana suatu perbuatan tindak pidana/kejahatan dilakukan biasanya mempunyai kepentingan yang paling kuat untuk menghukumnya;
2 .       Biasanya si pelaku kejahatan ditemukan di negara tempat ia melakukan tindak pidana/kejahatan;
3 .       Biasanya, pengadilan setempat dimana tindak pidana terjadi adalah yang paling tepat, karena saksi-saksi (dan mungkin barang buktinya) dapat ditemukan di negara tersebut dan;
4 .       Adanya fakta bahwa dengan tersangkutnya lebih dari satu sistem hukum yang berbeda, maka akan janggal jika seseorang akan tunduk pada dua sistem hukum. Misalnya, seorang warga negara Amerika Serikat datang ke London dan disana ia harus tunduk pada sistem hukum Inggris dan Amerika Serikat.[3]
Prinsip yurisdiksi teritorial dapat pula berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan tidak hanya di wilayah negara yang bersangkutan, tapi juga di dalam atau diluar laut teritorial, yakni terhadap sengketa-sengketa tertentu yang terjadi di jalur tambahan atau di laut lepas yaitu manakala negara tersebut adalah negara bendera kapal.[4]
Prinsip teritorial ini berlaku pada salah satu hal ini yaitu hak lintas damai di laut teritorial.

   C.     Hak Lintas Damai di Laut Teritorial
Prinsip yurisdiksi teritorial yang dimiliki oleh suatu negara (pantai) telah diakui sejak lama. Pengakuan dan pengaturan yurisdiksi negara pantai tampak dalam hasil konferensi kodifikasi hukum laut Den Haag 1930. Dalam konferensi diakui adanya dua macam yurisdiksi negara pantai atas kapal laut yang berlayar di laut teritorialnya, yaitu yurisdiksi kriminal (pidana) dan yurisdiksi perdata.
Hasil konferensi ini dipertegas kembali oleh konvensi hukum laut Jenewa 1958 tentang Laut Teritorial dan Jalur Tambahan (Pasal 19 dan 20). Dalam konvensi Hukum laut 1982, pengakuan dan pengaturan terhadap yurisdiksi (kriminal dan perdata) negara pantai terdapat dalam pasal 27 dan 28.
Dua pasal tersebut menyatakan bahwa negara pantai tidak dapat melaksanakan yurisdiksi kriminalnya terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial, baik untuk menangkap seseorang atau untuk mengadakan penyelidikan sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan di atas kapal selama kapal tersebut sedang melakukan lintasan, keuali dalam hal-hal berikut :
a .       Apabila akibat kejahatan itu dirasakan di negara pantai;
b .       Apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara tersebut atau ketertiban laut teritorial;
c .       Apabila telah dimintai bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal atau oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler negara bendera; atau
d .       Apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap narkotika atau psychotropika.[5]
Adapun yurisdiksi negara pantai di bidang perdata terhadap kapal asing berlaku ketentuan-ketentuan sebagai berikut :
a .       Negara pantai seyogianya tidak menghentikan atau merubah arah lintasan kapal asing yang melintasi laut teritorialnya untuk tujuan melaksanakan yurisdiksi perdata terhadap seorang yang berada di atas kapal itu.
b .       Negara pantai tidak dapat mengeksekusi atau menahan kapal untuk keperluan proses perdata, kecuali terdapat kewajiban atau tanggung jawab ganti rugi yang harus di pikul oleh kapal itu.
c .       Ketentuan (b) di atas tidak mengurangi hak negara pantai untuk keperluan proses perdata, untuk mengeksekusi atau menangkap kapal asing yang berada di laut teritorial atau yang sedang melintasi laut teritorial setelah meninggalkan perairan pedalaman.[6]



   A.     Kesimpulan
1.       Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio. Kata yurisdictio berasal dari dua kata yaitu kata Yuris dan Diction. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun Dictio berarti ucapan, sabda atau sebutan. Dengan demikian dilihat dari asal katanya Nampak bahwa yurisdiksi berkaitan dengan masalah hukum, kepunyaan menurut hukum atau kewenangan menurut hukum.
2.       Menurut prinsip yurisdiksi teritorial, negara mempunyai yurisdiksi terhadap semua persoalan atau kejadian di dalam wilayahnya. prinsip ini adalah prinsip yang paling penting dan mapan dalam hukum internasional. Prinsip teritorial ini terbagi dua, yaitu suatu tindak pidana yang dimulai di suatu negara dan berakhir di negara lain. Misalnya seorang yang menembak di daerah perbatasan negara A melukai seorang lainnya di wilayah negara B. Dalam keadaan ini, kedua negara memiliki yurisdiksi:
a.       Negara, dimana perbuatan itu dimulai (A), memiliki yurisdiksi menurut prinsip teritorial subyektif; dan
b.       Negara dimana tindakan tersebut diselesaikan (B), memiliki yurisdiksi berdasarkan prinsip teritorial obyektif.
3.       Dalam konvensi Hukum laut 1982, pengakuan dan pengaturan terhadap yurisdiksi (kriminal dan perdata) negara pantai terdapat dalam pasal 27 dan 28. Dua pasal tersebut menyatakan bahwa negara pantai tidak dapat melaksanakan yurisdiksi kriminalnya terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial, baik untuk menangkap seseorang atau untuk mengadakan penyelidikan sehubungan dengan kejahatan yang dilakukan di atas kapal selama kapal tersebut sedang melakukan lintasan. 

[1] Dr. Sefriani, S.H., M.Hum., hukum internasional Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Perss, 2012), hlm. 232
[2] Huala Adolf, Aspek-aspek negara dalam hukum internasional (Bandung: Keni Media, 2011), hlm.167
[3] Ibid., hlm. 168
[4] Prof. Dr. Widodo, S.H., M.H., Hukum Internasional Publik, (Yogyakarta: Aswaja Pressindo, 2017), hlm. 91-92
[5] Prof. Dr. Boer Mauna, Hukum Internasional, (Bandung: P.T. ALUMNI, 2013), hlm. 376
[6]Huala Adolf, Op. cit., hlm. 170-171

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN