Hukum Acara Pedata : Putusan (pengertian, kekuatan putusan, susunan dan isi putusan serta jenis-jenis putusan)

PUTUSAN
A.    Pengertian Putusan
Setelah pemeriksaan perkara yang meliputi proses mengajukan gugatan penggugat, jawaban tergugat, replik penggugat, duplik tergugat, pembuktian dan kesimpulan yang diajukan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat selesai dan pihak-pihak yang berperkara sudah tidak ada lagi yang ingin di kemukakan, maka hakim akan menjatuhkan putusan terhadap perkara tersebut. Putusan pengadilan merupakan sesuatu yang sangat diinginkan dan di nanti-nantikan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk menyelesaikan sengketamereka dengan sebaik-baiknya.
Arti putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri dan menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak. Bukan hanya yang diucapkan saja yang disebut putusan, melainkan juga pernyataan yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan kemudian diucapkan oleh hakim di persidangan. (Sudikno Mertokusumo, 1981:167), Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan pada sidang pengadilan yang terbuka untuk umum untuk menyelesaikan atau mengakhiri perkara perdata. (Riduan Syahrini, 1988:83) Setiap putusan pengadilan tertuang dalam bentuk tertulis yang harus ditandatangani oleh hakim ketua sidang dan hakim-hakim anggota yang ikut serta  memeriksa dan memutuskan perkara serta panitera pengganti yang ikut sidang. (Pasal 23 (2) UU No. 14/1970).

B.     Kekuatan Putusan
Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan undang-undang, tidak ada kesempatan lagi untuk menggunakan upaya hukum biasa melawan putusan itu. Jadi putusan yang tidak dapat diganggu  gugat. Sebagai contoh, putusan verstek (putusan tanpa hadirnya tergugat) yang tidak di ajukan perlawanan. Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak di ajukan banding. Putusan pengadilan tinggi yang tidak di ajukan kasasi. Putusan kasasi yang tidak diajukan upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Sedangkan putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum yang tetap adalah putusan yang menurut ketentuan perundang-undangan masi terbuka kesempatan untuk menggunakan upaya hukum melawan putusan itu misalnya perlawanan (verzet), banding dan kasasi. Putusan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam perkara perdata mempunyai 3 macam kekuatan yaitu[1]:
a)      Kekuatan Mengikat
Putusan hakim itu sebagai dokumen yang merupakan suatu akta otentik menurut pengertian undang-undang, sehingga tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian mengikat antara para pihak yang berperkara, tetapi membuktikan bahwa telah ada suatu perkara antara pihak-pihak yang disebutkan dalam putusan itu.
b)      Putusan Pembuktian
Putusan hakim yang sudah menjadi tetap dapat digunakan sebagai alat bukti (bewejis, evidence) oleh pihak yang berperkara sepanjang mengenai persitiwa yang telah ditetapkan dalam putusan. Karena putusan hakim adalah pembentukan hukum in concreto, maka peristiwa yang telah ditetapkan itu dianggap benar, sehingga memperoleh kekuatan bukti sempurna (volledig bewijskracht, full force of evidence).
c)      Putusan Eksekutorial
Yaitu kekuatannya untuk dapat dipaksakan dengan bantuan aparat keamanan terhadap pihak yang tidak menaatinya dengan sukarela.

C.     Susunan dan Isi Putusan
Dalam wujud dan bentuknya suatu putusan hakim terdiri dari “kepala” (judul), pertimbangan-pertimbangan dan “amar” atau “diktum”. (R. Subekti, 1982:168) Suatu putusan hakim terdiri dari empat bagian yaitu: 1) kepala putusan; 2) identitas para pihak; 3) pertimbangan dan 4) amar. (Sudikno Mertokusumo, 1981:177).
1)      Kepala Putusan
Setiap putusan pengadilan haruslah mempunyai kepala pada bagian atas putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (pasal 4(1) UU No. 14/1970). Kepala putusan ini memberi kekuatan eksekutorial pada putusan. Apabila kepala putusan ini tidak dibubuhkan pada suatu putusan pengadilan, maka hakim tidak dapat melaksanakan putusan tersebut.
2)      Identitas Pihak-pihak yang Berperkara
Sebagaimana biasanya bahwa dalam suatu perkara atau gugatan itu mempunyai sekurang-kurangnya dua pihak yang saling berhadapan yaitu penggugat dan tergugat, maka didalam putusan harus dimuat identitas dari para pihak: nama, alamat, pekerjaan, dan nama dari pengacaranya kalau para pihak menguasakan kepada orang lain.
3)      Pertimbangan Atau Alasan-alasan
Pertimbangan atau alasan-alasn dalam putusan hakim terdiri atas dua bagian yaitu pertimbangan tentang duduknya perkara dan pertimbangan tentang hukumnya. Pasal 184 HIR/195 RBG/23 UU No. 14/1970 menentukan, bahwa setiap putusan pengadilan dalam perkara perdata harus memuat ringkasan gugatan dan jawaban dengan jelas, alasan dan dasar putusan, pasal-pasal serta hukum tidak tertulis, pokok perkara, biaya perkara, serta hadir tidaknya pihak-pihak yang berperkara pada waktu putusan pengadilan diucapkan. Adanya alasan sebagai dasar putusan menyebabkan putusan mempunyai nilai obyektif, selain itu juga mempunyai wibawa.
Putusan pengadilan yang kurang cukup pertimbangannya merupakan alasan untuk kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan, (MA.tgl. 22-7-1970 No. 638 K/Sip/1969; MA.tgl. 16-12-1970 No.492/ K/Sip/1970). Namun tidak menyebutkan dengan tegas peraturan hukum mana yang menjadi dasar putusan tidak mengakibatkan putusan tersebut batal (MA.tgl. 22-7-1970 No. 80 K/Sip/1969). Selain itu putusan pengadilan yang didasarkan atau pertimbangan yang menyimpang dari dasar gugatan harus dibatalkan. (MA.tgl. 1-9-1971 No. 372 K/Sip/1970).
4)      Amar atau Diktum Putusan
Putusan hakim adalah menjawab permintaan atau tuntutan ini, apakah mengabulkan atau menolak gugatan tersebut. Dalam amar ini dimuat suatu pernyataan hukum, peneteapan suatu hak, lenyap atau timbulnya keadaan hukum dan isi putusan yang disebut hukuman yang berupa pembebanan suatu prestasi tertentu. Yang paling penting dalam amar atau diktum ini ialah tentang pokok perkara, yaitu menjadi pokok perselisihan. Dalam diktum ditetapkan siapa yang berhak atau siapa yang benar atas pokok perselisihan itu.
Dalam peradilan tata usaha negara secara rinci isi putusan telah tertuang dalam pasal 109, yaitu Putusan pengadilan harus memuat:
-          Kepala putusan yang berbunyi: “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
-          Nama, jabatan, kewarganegaraan, tempat kediaman, atau tempat kedudukan para pihak yang bersengketa.
-          Ringkasan gugatan dan jawaban tergugat yang jelas
-          Pertimbangan dan penilaian setiap bukti yang diajukan dan hal yang terjadi dalam persidangan selama sengketa itu diperiksa.
-          Alasan hukum yang menjadi dasar putusan.
-          Amar putusan tentang sengketa dan biaya perkara.
-          Hari, tanggal, putusan, nama hakim yang memutus, nama panitera, serta keterangan tentang hadir atau tidak hadirnya para pihak.

D.    Jenis-jenis Putusan
            Dalam Hukum Acara Perdata, putusan akhir diklasifikasikan menjadi 3 jenis, yaitu[2]:
       I.            Putusan Kondemnator
 Putusan Kondemnator adalah putusan yang bersifat menghukum. Hukuman dalam perkara perdata berbeda dengan hukuman dalam perkara pidana. Dalam perkara perdata, hukuman artinya kewajiban untuk memenuhi prestasi yang di bebankan oleh hakim. Menghukum artinya membebani mewajiban untuk berprestasi terhadap lawannya. Prestasi tersebut dapat berupa memberi sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu.
    II.            Putusan Deklarator
Adalah putusan yang bersifat menyatakan hukum atau menegaskan suatu keadaan hukum semata-mata. Dalam putusan deklarator tidak ada pengakuan sesuatu hak atas prestasi tertentu. Umumnya putusan deklarator terjadi dalam lapangan hukum pribadi, misalnya mengenai pengangkatan anak , kelahiran, penegasan hak atas suatu benda. Putusan deklarator bersifat penetapan saja tentang keadaan hukum, tidak bersifat mengadili karena tidak ada sengketa. Putusan deklarator seperti ini disebut deklarator murni.
 III.            Putusan konstitutif
Adalah putusan yang bersifat menghentikan keadaan hukum lama atau menimbulkan keadaan hukum baru. Dalam putusan ini suatu keadaan hukum tertentu dihentikan, atau ditimbulkan suatu keadaan hukum yang baru, misal putusan pembatalan perkawinan, pembatalan perjanian. Dalam putusan konstitutif tidak diperlukan pelaksanaan dengan paksaan karena dengan di ucapkannya putusan itu sekaligus keadaan hukum lama berhenti dan timbul keadaan hukum yang baru.



[1] Prof. Abdulkadir Muhammad, S.H., Hukum Acara Perdata, PT. CITRA BAKTI, Bandung, 2000, hlm. 157
[2] Ibid., 147

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN