Pengertian jual beli, syarat dan syarat sah, khiyar, rukun, kaifiyah, dan hikmah dalam jual beli


LANDASAN TEORITIS TENTANG JUAL BELI


2.1.Pengertian Jual Beli

Manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan interaksi. Dengan berinteraksi mereka dapat memberikan dan mengambil manfaat. Salah satu praktek interaksi yaitu jual beli yang dengannya mereka mampu mendapatkan kebutuhan yang mereka inginkan. 

Secara terminologi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain. Lafal al-ba’i dalam terminologi Fiqh terkadang dipakai untuk pengertian lawannya, yaitu lafal al-syira yang berarti membeli. Dengan demikian al-ba’i berarti jual beli. Menurut hanafiah pengertian jual beli secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau sesuatu yang diinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Adapun menurut Imam Maliki,Syafi’i dan Hanbali, bahwa jual beli yaitu tukar menukar harta benda dengan harta pula dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Dan menurut pasal 20 ayat 2 kompilasi hukum ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dan benda, atau pertukaran antara benda dengan uang.

Berdasarkan definisi di atas, maka pada intinya jual beli itu adalah tukar menukar barang. Mayarakat primitif telah mempraktikkan ketika uang belum digunakan sebagai alat tukar barang, yaitu dengan sistem barter yang disebut dengan ba’i al-muqayyah. Meskipun jual beli barter sudah ditinggalkan, diganti dengan mata uang, tetapi jual beli seperti itu masih berlaku, sekalipun menetukan jumlah barang yang ditukar tetapi diperhitungkan dengan nilai mata uang, misalnya, Indonesia membeli spare part kendaraan ke jepang, maka barang yang diimpor itu dibayar.[1]

Dasar hukum jual beli sebelum terjadi ijma’ adalah ayat-ayat Al-quran; seperti firman Allah Ta’ala yang artinya: “... dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” (Q.S. 2, Al-Baqarah: 274); dan beberapa hadits Nabi SAW. yang artinya: “Nabi saw. ditanya: ‘pekerjaan mana yang lebih mulia atau utama?’, maka jawab beliau: “Pekerjaan tangan seseorang dan setiap jual beli yang bersih’.”; Artinya, jual beli yang tiada unsur penipuan dan pengkhianatan.[2]

Adapun dalil sunnah di antaranya adalah hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW. beliau bersabda: “sesungguhnya jual beli itu atas dasar saling ridha. Jual beli yang mabrur adalah setiap jual beli yang tidak ada dusta dan khianat, sedangkan dusta adalah penyamaran dalam barang yang dijual, da penyamaran itu penyembunyian aib barang dari penglihatan pembeli. Adapun makna khianat itu lebih umum dari itu, sebab menyamarkan bentuk barang yang dijual, sifat, atau hal-hal luar seperti dia menyifatkan dengan sifat yang tidak benar atau memberitahu harta yang dusta.[3]

2.2.Persyaratan dalam jual beli

Berbeda antara syarat sah jual beli dan persyaratan jual beli, syarat sah jual beli ditentukan oleh agama, sedangkan syarat jual beli ditetapkan oleh salah satu pihak pelaku transaksi. Bila syarat sah jual beli dilanggar, maka akad jual beli tidak sah, namun bilamana persyaratan dalam jual beli yang dilanggar, maka akadnya tetap sah hanya saja pihak yang memberikan persyaratan berhak khiyar untuk melanjutkan atau membatalkan akad. 

Hukum asal memberikan persyaratan dalam jual beli adalah sah dan mengikat, maka, dibolehkan bagi kedua belah pihak menambahkan persyaratan dari akad awal. Hala ini bersarkan kepada firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad itu.” (Q.S al-maidah/5: 1). Dan sabda Rasulullah SAW bersabda, “orang Islam itu terikat dengan persyaratan (yang mereka buat) selagi syarat itu tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram.” (HR.Tirmidzi)[4]

Melihat hadits diatas, maka persyaratan dalam jual beli terbagi kepada dua, yaitu: 

1. Persyaratan yang dibenarkan agama.

2. Persyaratan yang tidak dibenarkan agama. 

Adapun persyaratan yang dibenarkan agama, misalnya: 

1. Persyaratan yang sesuai tuntutan dengan akad. Misalnya seseorang membeli mobil dan mempersyaratkan kepada penjual agar menanggung cacatnya. Jaminan barang bebas dari cacat sudah menjadi kewajiban penjual baik disyaratkan oleh pembeli maupun tidak, akan tetapi persyaratan di sini bisa bertujuan sebagai penekanan. 

2. Persyaratan tausiqiyah, yaitu penjual mensyaratkan pembeli mengajukan dhamin(jaminan). Biasanya untuk jual beli ini tidak tunai. Dan bilamana pembeli terlambat memenuhi angsuran, maka penjual berhak menuntut penjamin untuk membayar atau berhak menjual barang agunan serta menutupi angsuran dari hasil penjualan barang tersebut. 

3. Persyaratan wasyfiyah, yaitu pembeli mengajukan persyaratan kriteria tertentu pada barang atau cara tertentu pada pembayaran.

4. Persyaratan manfaat pada abarang.

5. Persyaratan taqyidiyyah, yaitu salah satu pihak mensyaratkan hal yang bertentangan dengan kewenagan kepemilikan. 

6. Persyaratan akad fi akad, yaitu menggabungkan dua akad dalam satu akad. 

7. Syarat jaza’i (persyaratan denda), yaitu persyaratan yang terdapat dalam suatu akad mengenai pengenaan denda apabila ketentuan akad tidak terpenuhi. Persyaratan ini dibolehkan jika objek-objek akadnya adalah kerja bukan harta. 

8. Syarat takliqiyyah. Misalnya, penjual berkata: “saya jual mobil ini kepadamu dengan harga Rp50.000.000,- jika orang tuaku setuju. Dan pembeli berkata: “saya setuju”. Dan jika orangtuanya setuju maka akad mejadi sah.[5]



Adapun persyaratan yang dilarang dalam agama, Misalnya:

1. Persyaratan yang menggabungkan akad qardh dengan ba’i. Misalnya Pak Hasan meminjam uang kepada Pak Mursyid sebanyak Rp50.000.000,- dan akan dikembalikan dalam jumlah yang sama dengan syarat Pak Mursyid menjual mobilnya kepada Pak Hasan dengan harga Rp30.000.000,-.

Persyaratan ini hukumnya haram karena merupakan media menuju riba, karena harga mobil Pak Mursyid mungkin lebih dari pada tawaran Pak Hasan. 

2. Persyaratan yang bertentangan dengan tujuan akad. Misalnya, seseorang menjual mobilnya dengan syarat kepemilikannya tidak berpindah kepada pembeli. Persyaratan ini bertentangan dengan tujuan akad, karena tujuan akad ba’i adalah perpindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli dan dengan ada akad ini persyaratan ba’i jadi semu. Inilah bentuk-bentuk persyaratan yang tidak dibenarkan dan tidak wajib dipenuhi, berdasarkan sabda Nabi SAW: “setiap persyaratan yang bertentangan dengan agama Allah tidak sah sekalipun berjumlah 100 persyaratan.” (HR. Bukhari Muslim)[6]

Jual beli juga dianjurkan di hadapan saksi, berdasarkan firman Allah Qs. Al-Baqarah/2 ayat 282 : “Dan persaksikanlah apabila kalian berjual beli”. Demikian ini karena jual beli yang dilakukan di hadapan saksi dapat meghindari terjadinya perselisihan dan menjauhkan diri dari sikap menyangkal.[7]



2.3. Syarat Sah Jual Beli

Suatu jual beli tidak sah bila tidak terpenuhi dalam suatu akad tujuh syarat, yaitu:

1. Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi syarat mutlah keabsahannya. 

2. Pelaku akad adalah orang yang dibolehkan melakukan akad, yaitu orang yang telah balig, berakal, dan mengerti. Maka, akad yang dilakukan oleh anak dibawah umur, orang gila, atau idiot tidak sah kecuali atas seizin walinya, kecuali akad yang bernilai rendah seperti korek api, gula dan lain-lain.

3. Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya oleh kedua pihak. Maka, tidak sah jual beli barang yang belum dimiliki atas seizin pemilinya.

4. Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan agama. Maka, tidak boleh menjual barang haram seperti khamar

5. Objek transaksi adalah barang yag biasa diserahterimakan. Maka, tidah sah jual beli mobil hilang, burug diangkasa karena tidak bisa diserahterimakan.

6. Objek jual beli diketahui oleh kedua pihak saat akad. Maka, tidak sah menjual barang yang tidak jelas. Misalnya, pembeli harus melihat terlebih dahulu barang tersebut.

7. Harga harus jelas saat transaksi. Maka, tidak sah jual beli di mana penjual mengatakan: “Aku jual mobil ini kepadamu dengan harga yang akan kita sepakati nantinya.[8]



Jual beli dianggap sah dengan ijab yaitu pernyataan penjual sekalipun sambil bergurau. Ijab adalah kata-kata yang menunjukkan kepemilikan yang jelas, misalnya, “Saya jual barang ini kepadamu dengan harga sekian...”. Juga dengan qabul yaitu pernyataan pembeli. Qabul adalah kata-kata yang menunjukkan penerimaan hak milik dengan cara jelas, misalnya, “Kubelikan barang ini dengan harga sekian...”

Diadakan Ijab-Qabul agar sempurna bentuk transaksi yang merupakan syarat ditunjukkan sabda Nabi SAW.: “Jual beli bisa sah, hanya dengan saling merelakan”; sedangkan rasa rela adalah hal yang tidak tampak. Karenanya dikurlah kerelaan dengan bentuk ucapan. Karena jual beli dianggap belum sah dengan serah terima tanpa ijab qabul tetapi Imam An-Nawawi memilih hukum “sudah sah” pada serah terima mu’athah (setiap barang yang menurut kebiasaan, seperti roti, daging.[9]



2.4. Khiyar dalam jual beli

Dalam jual beli berlaku khiyar. Khiyar menurut pasal 20 ayat 8 kompilasi hukum ekonomi syariah myaitu hak pilih bagi oenjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual beli yang dilakukan. 

Khiyar terbagi menjadi 3 macam, yaitu khiyar majlis, khiyar syarat, dan khiyar ‘aib. Khiyar majlis yaitu tempat transaksi, dengan begitu khiyar majlis berarti hak pelaku transaksi untuk meneruskan atau membatalkan akad selagi mereka berada dalam tempat transaksi dan belum berpisah. Diakhirinya khiyar orang yang memilih jual beli, baik penjual maupun pembeli, misalnya mereka berkata: “kita jadikan jual beli kit”. Atau ”kita teruskan jual beli kita”, maka khiyar merka itu sudah habis. Khiyar belum habis lantaran salah satu penjual atau pembeli mati, akan tetapi hak khiyar berpindah kepada ahli waris.[10]

Khiyar syarat yaitu kedua pihak atau salah satu pihaknya berhak memberikan persyaratan khiyar dalam bentuk tertentu. Khiyar syarat merupakan hak yang disyaratkan oleh seseorag atau kedua belah pihak untuk membatalkan kontrak yang telah diikat. 

Misalnya, pembeli mengatakan kepada penjual: “Saya beli barang ini dari anda, tetapi saya punya hak utuk mengembalikan barang ini dalam 3 hari. Hal ini merupakan pencegahan terhadap kesalahan, cacat barang, ketiadaan pengetahuan kualitas barang. 

Khiyar ‘aib merupakan hak pilih untuk meneruskan atau membatalkan akad karena terdapat cacat pada barang. Khiyar ‘aib juga merupakan suatu hak yang diberikan kepada pembeli dalam kontrak jual beli untuk membatalkan kontrak jika si pembeli menemukan cacat dalam barang yang telah dibelinya sehingga menurunkan nilai barang itu. Hak ini telah digariskan oleh hukum dan pihak-pihak yang terlibat tidak boleh melanggarnya dalam kontrak. Misalnya, si pembeli membeli binatang, kemudian binatang tersebut nakal, sukar di tunggangi, si pembeli berhak ntuk membatalkan akad tersebut karena terdapat kecacatan pada barang itu.[11]



2.5. Rukun dalam jual beli

Di dalam jual beli juga terdapat rukun yang harus ada untuk melaksanakan jual beli yang sempurna.

Rukun jual beli ada tiga, yaitu:

1. Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli

2. Objek traksaksi, yaitu harga dan barang. Yang berarti jual beli yang terdiri atas benda yang berwujud dan benda yang tidak berwujud, yang bergerak maupun benda yang tidak bergerak. Barang yang di jual belikan harus ada, barang yang dijualbelikan harus dapat diserahkan, barang yang dijualbelikan harus berupa barang yang memiliki nilai/harga, barang yang dijualbelikan harus halal, barang yang dijualbelikan harus diketahui oleh pembeli, dan barang yang dijualbelikan harus ditentukan secara pasti pada waktu akad.

3. Akad (transaksi), yaitu segala tindakan yang dilakukan kedua belah pihak yang menunjukkan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun perbuatan. 

4. Dan juga berarti kesepakan yang dilakukan dalam bentuk tulisan, lisan, dan isyarat, ketiganya mempunyai makna hukum yang sama.[12]



2.6. Kaifiyah (cara) dalam Jual Beli 

Cara-cara dalam jual beli itu adalah harus adanya rukun jual beli yaitu adanya penjual dan pembeli, jika hanya ada salah satunya saja seperti hanya ada penjual tetapi tidak ada pembeli tidak bisa menghasilkan uang, dan begitu juga sebaliknya jika hanya ada pembeli tetapi tidak ada penjual itu kita tidak tahu berapa harga suatu barang. Dan juga harus adanya barang, jika tidak ada barang tidak tahu yang harus di perjualbelikan dalam suatu perdagangan. Kemudian setelah barang tersebut di beli dalam pembeliannya harus disertakan dengan akad(transaksi), karena dengan adanya akad itu menunjukkan bahwa kedua belah pihak sedang melakukan jual beli baik itu berupa lisan, tulisan, maupun isyarat.[13]

Kemudian di dalam cara mengerjakan jual beli harus adanya syarat dan syarat sah jual beli, yaitu baligh, jika dalam suatu jual beli yang menjadi pembeli itu anak-anak yang belum cukup umur tidak boleh melakukan akad jual beli kecuali adanya izin dari wali, jadi jika ada kesalahan anak tersebut bisa di tanggung jawabkan oleh wali. Dan juga berakal, orang yang sakit jiwanya tidak bisa melakukan jual beli, dikarenakan mereka tidak bisa berfikir dengan sehat, dan tidak bisa bertanggung jawab jika ada kesalahan dalam jual beli tersebut.[14]



2.7. Hikmah dalam Jual Beli

Adapun hikmah dibolehkannya jual beli itu adalah menghindarkan manusia dari kesulitan dalam bermuamalah dengan hartanya. Sebaliknya dia memerlukan suatu bentuk harta, namun harta yang di perlukan ada di tangan orang lain. Kalau seandainya orang lain yang memilki harta itu juga menginginkan harta yang ada di tangan orang yang tidak diperlukannya itu, maka dapat berlaku usaha tukar menukar yang dalam bahasa Arab disebut Jual-Beli. Namun karena apa yang diperlukan seseorang belum tentu ada sama dengan apa yang yang diperlukan orang lain, tentu tidak dapat dilakukan cara tukar menukar itu. Untuk itu digunakan alat tukar yang resmi dan selanjutnya berlangsunglah jual beli dalam arti sebenarnya. Seandainya jual beli itu tidak disyariatkan, manusia akan mengalami kesukaran dalam kehidupannya.[15]



DAFTAR PUSTAKA

Dr. Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.

Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Terjemahan Fat-Hul Mu’in. Surabaya: Al-Hidayah.

Prof.Dr. Amir Syarifuddin. 2010. Garis-garis Besar Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Gemala Dewi, S.H.,LL.M., et al. 2005. Hukum perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Prenada Media.

Dr. Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani. 2004. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer. Surabaya: Pustaka Progressif.

Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Ibnu Rusyd. 2007. Bidayatul Mujtahid. Jakarta: Pustaka Amani.

Dr. Mustafa Murad. 2009. Kesalahan dalam Ibadah Muamalah. Jakarta: Cakrawala Publishing.










[1] Dr. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah cet.1 (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup,2012) hal.101 


[2] Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Terjemahan Fat-Hul Mu’in jilid 2 (Surabaya: Al-Hidayah) hal.193 


[3] Dr. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah cet.1 (Jakarta: Kencana Prenada media Group,2012) hal 


[4] Prof.Dr. Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Fiqh cet 3 (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2010) hal. 196 


[5] Dr. Mardani. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah cet.1 (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup,2012) hal.111 


[6] Gemala Dewi, S.H.,LL.M., et al. Hukum perikatan Islam di Indonesia cet 1 (Jakarta: Prenada Media,2005) hal. 7 


[7] Dr. Mardani. FIQH Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah cet.1 (Jakarta: Kencana Prenadamedia Grup,2012) hal.105 


[8] Dr. Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer cet 1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004) hal.30 


[9] Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si. Fiqh Muamalah cet 5 (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2010) hal. 71 


[10] Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid cet 1 (Jakarta: Pustaka Amani,2007) hal.13 


[11] Dr. Ash-Shadiq Abdurrahman Al-Gharyani. Fatwa-fatwa Muamalah Kontemporer cet 1 (Surabaya: Pustaka Progressif, 2004) hal. 80 


[12] Dr. Mustafa Murad. Kesalahan dalam Ibadah Muamalah cet 1 (Jakarta: Cakrawala Publishing,2009) hal. 563 


[13] Prof.Dr. Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Fiqh cet 3 (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2010) hal. 194 


[14] Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari. Terjemahan Fat-Hul Mu’in jilid 2 (Surabaya: Al-Hidayah) hal.193 


[15] Prof.Dr. Amir Syarifuddin. Garis-garis Besar Fiqh cet 3 (Jakarta: Kencana Prenada media Group, 2010) hal. 194

Komentar

  1. How to win at Slots.lv Casino - drmcd
    I 안성 출장샵 want to play at Slots.lv, the 공주 출장마사지 best casino online. I am looking for a good 용인 출장마사지 time to try this slot machine and the 남양주 출장마사지 game 동두천 출장샵 is excellent. I

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Periwayatan Hadis : pengertian, cara periwayatan, macam-macam periwayatan, sejarah periwayatan hadits pada masa nabi, masa sahabat, masa tabi'in.

Analytical exposition dan hortatory exposition

PERBANDINGAN HUKUM TATA NEGARA INDONESIA DENGAN KOREA SELATAN