Daulah Islamiyah/Negara islam
DAULAH ISLAMIYAH/NEGARA ISLAM
A. Pengertian Daulah Islamiyah
Menurut bahasa daulah berasal dari
kata dala, yadulu, daulah yang artinya bergilir, beredar dan berputar.
Sedangkan menurut istilah daulah didefinisikan sebagai Sebuah sistem kekuasaan
yang didalamnya terdapat unsur-unsur Kepemimpinan, Perundang-Undangan, Wilayah
tertentu, Warga Masyarakat, dan Ideologi yang dianut sebagai Pandangan Hidup
Berbangsa dan bernegara.
Jika kata daulah digabungkan dengan
kata Islam, maka menjadi daulah Islam. Artinya sebuah bentuk kekuasaan yang
dilaksanakan dengan sistem Dinul Islam. Islam adalah suatu sistem Ideologi yang
berdasarkan kepada keterangan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah saw.
Dari definisi tersebut Daulah Islam
menjadi sebuah istilah yaitu Negara Islam. Jadi Negara Islam ialah negara yang
sistem kepemimpinannya dan sistem kekuasaannya berazaskan kepada Dinul Islam
(Hukum Islam).
Para ahli fiqh berpendapat bahwa
daulah Islamiyah merupakan makna yang dikandung oleh negara Islam, merupakan
nama bagi tempat yang berada ditangan kaum muslimin. Definisi tersebut
menonjolkan unsur kekuasaan dan unsur tempat serta memendam unsur-unsur negara
lainnya, seperti unsur penduduk dan unsur peraturan, karena kewajiban kaum
muslimin jika mereka menetapkan hukum adalah melaksanakan undang- undang Islam.
Ar-Rafi’i berkata adanya kaum muslimin
bukanlah syarat berdiri negara Islam, tetapi cukuplah negara tersebut dipegang
oleh kepala negara muslim. Negara menurut Islam yang rasional ditegakkan di
atas sendi akidah Islam dan hukum serta peraturan yang ditumbuhkannya. Jadi
bukanlah negara kedaerahan yang dibatasi oleh suku, jenis atau ras. Namun
negara rasional yang terbentang hingga atas yang dapat dicapai oleh akidah Islam.
Oleh karena itu tak ada tempat bagi keistimewaan berdasarkan pada warna kulit,
jenis atau daerah. Karakter negara Islam memungkinkan menjadi negara dunia yang
mencakup dari berbagai ras dan bangsa.[1]
Jadi daulah islamiyah dapat diartikan
bahwa suatu daerah yang tanpa ada batasan ras, suku atau jenis dan agama.
Tetapi, wilayah tersebut tetap dipegang oleh kepala wilayah muslim. Seperti
halnya yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, saat berdirinya negara
Madinah. Rasulullah lah yang menjadi kepala negara Madinah.
B. Sejarah Terbentuknya Daulah
Sejak Rasul saw tiba di Madinah,
beliau memerintah kaum muslim, memelihara semua kepentingan mereka, mengelola
semua urusan mereka, dan mewujudkan masyarakat Islam. Beliau juga mengadakan
perjanjian dengan Yahudi, dengan Bani Dhamrah, Bani Mudlij, Quraisy, penduduk
Ailah, Jirba’, dan Adzrah, yang merupakan penduduk negara Madinah saat beliau
menjadi kepala negara tersebut.[2]
Sehingga setelah berdirinya negara Madinah seluruh masyarakat islam ataupun non
islam mereka adalah satu, yaitu penduduk Madinah.
Seperti
dalam kutipan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 213 :
وَاحِدَةً أُمَّةً النَّاسُ كَانَ
Artinya: “manusia adalah umat yang satu”[3]
Untuk menetralisir dampak negatif dari
kemajemukan kepentingan budaya manusia supaya tidak berkembang menjadi ancaman
bagi persatuan dan kesatuan manusia di satu sisi, di sisi lain memperkokoh dan
menghargai ukhuwah insaniyah
(persaudaraan manusia), maka muncul dasar keadilan, persamaan, kemanusiaan,
toleransi, kerjasama, kemerdekaan dan perilaku moral yang baik.[4]
Dari sisi sejarah yang ada mengenai
terbentuknya suatu daulah Islamiyah dapat dijumpai dalam beberapa hadis sahih
yang membicarakan masalah khilafah, imamah, pengadilan, para pemimpin,
sifat-sifat pemimpin, hak-hak mereka untuk membantu setiap kebajikan, nasehat
bagi mereka, hak-hak mereka untuk membantu mereka dalam kondisi apapun, sabar
menghadapi kekurangan mereka, batasan-batasan kesabaran, batasan kewajiban
mereka menegakkan hukum Allah, memperhatikkan hak-hak rakyat, meminta pendapat
para penasehat, mengangkat orang-orang yang kuat dan dapat dipercaya, mengambil
orang-orang yang shalih, keharusan menegakkan shalat, mengeluarkan zakat,
menyuruh kepada yang ma’ruf mencegah dari yang mungkar dan lain-lainnya dari
berbagi masalah daulah, hukum dan pemerintahan.
Sejak Rasulullah melakukan hijrah dari
Mekah ke Yastrib yang kemudian diubah namanya menjadi Madinah hingga saat
sekarang ini dalam wujud kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran telah
menampilkan dirinya sangat terkait dengan masalah kenegaraan.
Sejarah Rasulullah dan para sahabat
juga tidak datang sebagi penerapan praktis dari seruan nas. Tetapi tabi’at
risalah Islam itu sendiri yang sudah memastikan keharusan adanya daulah atau
wilayah bagi Islam, agar bisa membangun akidah, syiar, ajaran, pemahaman,
akhlak, keutamaan, tradisi dan syari’at-syari’atnya. Islam sangat membutuhkan
daulah yang bertanggung jawab pada setiap zaman. Tetapi ia jauh lebih
membutuhkannya pada zaman sekarang, zaman yang lebih memunculkan “Negara
ideologi” dengan kata lain daulah yang mampu membangun suatu pemikiran, yang
keseluruhan bangunannya didirikan pada prinsip-prinsip yang dikehendaki, baik
pendidikan, pengajaran, hukum, undang-undang, ekonomi, dan berbagai masalah
dalam negeri maupun politik luar negerinya. Seperti yang dapat kita lihat
secara jelas di negara-negara komunis dan sosialis. Ilmu pengetahuan modern
yang ditunjang dengan kemajuan teknologi siap membantu negara, pikiran,
perasaan, cita rasa dan perilakunya secara optimal, yang tidak pernah ada
seperti itu sebelumnya. Bahkan dengan perangkatnya yang modern, negara bisa
merubah nilai-nilai sosial seperti membalik telapak tangan, selagi hal ini
tidak dihadang dengan sebuah kekuatan yang besar. Sementara itu, daulah Islam
adalah daulah berbasis akidah dan pemikiran, daulah yang yang didirikan pada
landasan akidan dan sistem, bukan sekedar “perangkat proteksi”yang menjaga umat
dari agresi dari dalam dan invasi dari luar, tetapi tugas daulah Islamiyah yang
paling mendalam dan paling mendasar adalah mengajarkan dan mendidik umat
berdasarkan ajaran dan prinsip-prinsip Islam, menciptakan iklim yang baik, agar
akidah Islam, pemikiran dan ajaran-ajarannya beralih ke alam nyata yang bisa di
rasakan, dan dapat dijadikan panutan bagi setiap orang yang mencari petunjuk
dan menjadi hujjah bagi setiap orang yang sudah berjalan di atas petunjuk.
Dakwah yang paling dibutuhkan Islam
pada zaman sekarang ini adalah “Darul Islam” (wilayah Islam) atau “Daulah
Islam” agar bisa menjadi tumpuan risalah Islam, akidah maupun tatanan, akidah
maupun akhlak, kehidupan maupun peradaban, yang dapat menegakkan semua sektor
kehidupan, yang dilandaskan kepada risalah yang universal ini, dan membuka
pintu bagi setiap Muslimin yang hendak hijrah ke sana dari wilayah orang-orang
kafir, zalim dan yang menyimpang.[5]
Sementara itu kekhilafahan dikenal
sebagai “pengaruh umat menuju tujuan yang bersifat syar’i untuk mencapai
kemaslahatan ukhrawi dan duniawi, yang duniawi mengacu pada ukhrawi lantaran
semua perilaku duniawi selamanya berpijak pada syara’ demi kemaslahatan
ukhrawi”. Dan pada bagian yang lain, dengan demikian, bahwa fungsi-fungsi
kesultanan dalam agama Islam berada di bawah peringkat kekhilafahan, lantaran
menyeluruhnya jabatan kekhilafahan ini dalam masalah-masalah keagamaan dan
dunia seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Syari’at Islam saling
kait-mengkait semua seginya, dan di dalamnya termuat segala hukum yang ada,
lantaran hukum syara’ ini berkenaan dengan semua perilaku hamba Allah SWT.
Namun di sisi lain, kekuatan yang
ingin memerangi Islam senantiasa berusaha semaksimal mungkin agar daulah ini
tidak berdiri di penjuru dunia mana pun, sekalipun wilayahnya kecil dengan
penduduknya sedikit. Orang-orang Barat bisa membiarkan berdirinya negara
Marxis, orang-orang komunis bisa membiarkan berdirinya negara Liberalis, tetapi
mereka tidak akan membiarkan berdirinya daulah Islam yang sebenarnya.
[1]
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam
Pandangan Islam, alih bahasa, Abd Aziz, cet. I, (Jakarta: Yayasan al-Imam,
1984), hlm. 11-13.
[2] Tahrir
Hizbut, Daulah Islam, edisi Mu’tamadah, cet. 7, (Jakarta: Hizbut Tahrir
Imdonesia, 2012), hlm. 174.
[3] QS.
Al-Baqarah: 213.
[4] Prof.
H.A. Djazuli, Fiqh Siyasah, ( Jakarta: KENCANA Prenada media group, 2003), hlm.
124.
[5] Yusuf
al-Qaradawi, Fiqh Daulah dalam perspektif al-Qur’an dan as-Sunah, terj; Kathur
Suhardi, (Jakarta: al-Katsar, 2000 ), hlm. 32.
Komentar
Posting Komentar